Selamat membaca dan semoga memberi manfaat!

Kamis, 25 April 2019

Saya Memang Mencintaimu. Namun, Kau Bukan Segalanya!

”Akal adalah akar dari kebahagiaan!”

Kalimat di atas adalah kutipan dari perkataan Larrain. Saya menyetujuinya. Sangat menyepakatinya. Saya pun menanamkan itu di dalam diri saya. Tujuannya sederhana agar saya menjadi pengendali atas kebahagiaan saya. Agar saya menjadi pengendali atas pikiran dan perasaan saya. 

Saya pernah menjadi sebodoh-bodohnya manusia. Takluk pada perasaan. Nalar saya menjadi tumpul. Saya pun ditipu sedemikian rupa oleh perempuan yang saya cintai. Oleh perempuan yang selama ini saya kira jodoh saya. Perempuan yang mengibuli saya dengan berkata: “Jangan khawatir, Daeng. Tidak ada laki-laki lain. Hanya kamu yang ada dalam doa-doa saya.” 

Bagi teman-teman saya, perempuan itu amat keterlaluan. Tadinya, saya juga menganggap dia demikian. Betapa tidak – dia menggunakan tangisannya untuk memanipulasi saya. Dia tahu betapa besar saya mencintainya. Waktu itu, saya bahkan lebih mencintai dia ketimbang diri saya. Dia pun memanfaatkan kenyataan itu untuk memperdayai saya. 

Ketika mengetahui kebohongannya, rasa cinta saya seketika berganti wajah menjadi benci dan dendam. Saya mengutuknya. Menyerapahi dia sepuasnya. Saya menghidupi kedua penyakit hati itu di dalam dada saya. Berbulan-bulan. 

Saya baru berhenti merawat rasa dendam dan benci itu ketika kau dan perempuan yang saya anggap adik membuka mata saya. Bahwa masih ada perempuan yang bisa saya percayai. Saya menemukan harapan itu di kedalaman matamu. Juga senyum yang menyungging di bibirmu. 

Kehadiranmu membuat saya sadar bahwa selama ini saya membenci dan mendendam karena ketiadaan cinta dalam hati saya. Setelah kau berhasil membuat saya jatuh cinta lagi, rasa benci dan dendam itu pun perlahan sirna. Saya dilingkupi perasaan cinta terhadapmu. 

Saya tidak memungkiri bahwa saya benar-benar merasa nyaman dengan adanya dirimu di sekitar ruang hidup saya. Saya merasa lebih hidup lagi. Kamu seperti oasis di tengah gurun kesedihan saya. Semoga saja kamu bukan fatamorgana. 

*** 
Saya kaget membaca pesanmu. Saya baru saja sampai di kosan setelah dari mengantarmu. Tiba-tiba kamu mengirim pesan yang membuat dahi saya berkerut. Saya amat kesal membacanya. Tadi kita baik-baik saja, saling bercanda – kini, tiba-tiba kamu meminta maaf karena ingin pamit dari saya. 

Kamu ingin menjauh dari saya karena katamu sedang dekat dengan seseorang. Sebagai bentuk penghargaanmu terhadap dia, kamu ingin membatasi pergaulan. Terutama pada saya karena sempat membuatmu merasa nyaman. Kamu mengaku masih labil dan merasa kebingungan dengan perasaanmu. Saya kamu bilangi terlalu baik kepada lawan jenis sehingga gampang membuat orang lain nyaman. 


Kamu ingin berhenti dari semua ini. Dengan laki-laki yang telah kamu kenal selama delapan tahun. Dengan si A, si B, dan si C. Kamu takut semakin labil dan bingung dengan perasaanmu. Sehingga kamu merasa perlu pamit dari semuanya, termasuk kepada saya. 

Saya kurang mengerti maksud perkataanmu. Saya juga heran dengan pengakuanmu yang dekat dengan banyak orang. Apakah segitu mudahnya hatimu merasa nyaman pada banyak laki-laki? Rasa trauma saya terhadap hati perempuan yang gampang berubah, tiba-tiba tersentil. 

Perasaan yang belakangan ini tumbuh di dada saya untukmu, seketika layu. Hati saya merasa hambar membaca pesanmu. Tidak ada lagi debar-debar dan rasa senang. Hati saya merasa terusir sebelum sempat benar-benar bertamu di hatimu. 

Saya pun membalas pesanmu dengan mengatakan bahwa saya tidak pernah memaksakan sesuatu pada orang lain. Terutama memaksa berkomunikasi. Tidak usah merasa tidak enak dengan saya. Jika itu menurutmu yang terbaik. Yah, silakan. 

Kamu merespons pesan balasan saya dengan mengatakan bahwa kamu takut rasamu semakin timbul dan bingung mesti berbuat apa. 

Saya membalas pesanmu lagi dengan menegaskan bahwa jika dengan memiliki perasaan kepada saya membuat kamu merasa tidak nyaman. Sederhana, kamu tidak perlu menjauh. Saya yang akan menjauh. Kemudian saya mengucapkan terima kasih untuk kebersamaan malam ini dan yang kemarin-kemarin. Lalu mengucapkan salam sebagai tanda ucapan perpisahan saya. 

Kamu pun merespons pesan saya dengan perkataan-perkataan yang membuat saya risih. Kamu bilang saya baik sekali. Kemudian mengucapkan kata-kata yang sama lagi – bahwa kamu takut nyaman dan bingung mau jawab apa. Benar kata Milan Kundera bahwa semakin sesuatu berulang, semakin ia kehilangan makna. Begitu pun dengan kata-katamu itu. 

Kamu juga menelepon berulang kali. Kamu meminta saya mengangkatnya. Ada yang ingin kamu jelaskan katamu. Saya tidak mau mengangkat teleponmu. Saya tahu kamu hanya akan membicarakan sesuatu yang membuat saya kesal nantinya. 

Lalu kamu mengirim pesan beruntun. Kamu bilang tidak menyuruh saya menjauh. Kamu hanya bingung karena saya mulai jarang muncul dan kamu justru mencari saya. Di satu sisi kamu merasa tidak enak dengan laki-laki yang duluan hadir dari saya. Kamu takut tidak setia. 

Kamu juga ingin berfokus dengan tujuan hijrahmu. Kamu tidak ingin terus-terusan memikirkan cinta-cintaan. Kamu pusing karena itu. Apalagi akan ada yang datang melamarmu dalam waktu dekat. Itu yang membuatmu merasa perlu menjauhi semua laki-laki yang sedang dekat denganmu. Kamu takut menjadi perempuan jahat yang memberikan harapan kepada orang lain – yang ujung-ujunganya bisa kamu sakiti. 

Saya sebenarnya amat malas membalas pesanmu. Saya memang seperti ini. Enggan melayani orang yang ingin pergi. Apalagi menahannya. Namun, sahabat saya meminta saya bersabar merespons pesan-pesanmu – demi meniadakan prasangka-prasangkamu terhadap saya. 

Saya pun menyampaikan kepadamu bahwa saya tidak pernah berharap lebih. Makanya kemarin-kemarin saya mengakui kesalahan saya yang sempat menyatakan perasaan. Sebab, itulah yang memunculkan banyak prasangka. Termasuk prangsakamu ini. 

Padahal setelah menyatakan perasaan, saya tidak pernah meminta hubungan khusus. Saya berusaha bersikap seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Saya tidak ingin menuntut apa-apa atas perasaan saya. Ingin dianggap teman atau kakak – yah, terserah! 

Makanya, saya menyampaikan kepadamu bahwa saya memang mencintaimu. Namun, kau bukan segalanya. Jadi tidak perlu khawatir. Apalagi saya menyepakati perkataan Erich Fromm bahwa cinta itu perihal memberi bukan menerima. Saya belajar mencintai seperti itu. Mencintai tanpa pamrih. Seperti cinta orang tua kepada anak-anaknya. Anggap saja, ini adalah persiapan saya untuk menjadi ayah yang keren bagi anak-anak saya kelak. 

*** 
Besoknya, kamu mengirim pesan beruntun lagi. Dengan kata-kata yang tidak terlalu berbeda dengan yang kamu kirim sebelumnya. Kamu bilang saya laki-laki yang baik sekali. Gampang membuat orang lain nyaman. Kamu pusing dengan perasaanmu, takut dibenci oleh saya, dan sebagainya. 

Membaca pesan-pesanmu itu seperti saya membaca tulisan di pembungkus rokok – merokok membunuhmu – tidak bermakna. Kamu mengatakan banyak hal, tetapi seperti tidak mengatakan apa-apa. Kamu juga mengatakan ingin saya tetap ada dan tidak ingin saya berubah. Kata-katamu membuat dahi saya semakin berkerut dan semakin tidak mengerti jalan pikiranmu. 

Lalu kamu mengirim pesan lagi yang meminta saya untuk tidak marah. Saya pun meresponsnya dengan menanyakan apa alasan saya untuk marah. Kamu hanya mengirim emoji menangis. Setelah itu, kamu menelepon saya. Saya mengangkatnya agar kamu bisa menyampaikan segala hal yang perlu kamu sampaikan. 

Saya mendengar celotehmu dengan sabar. Kamu bercerita sambil terisak. Saya pun memintamu mengubah panggilan suara menjadi panggilan telepon. Saya amat lemah dengan tangisan perempuan. Makanya saya ingin membuatmu tertawa dengan memperlihatkan ekspresi saya. 

Kamu menangis karena ternyata benar-benar bingung dengan perasaanmu. Kamu akan dilamar oleh sepupumu, tetapi tidak tahu cara menolaknya. Kamu juga bingung dengan perasaanmu terhadap lelaki yang kamu kenal delapan tahun itu. Juga bingung dengan perasaanmu kepada saya. Mendengar itu saya hanya bisa tertawa. 

Kemudian saya membercandaimu dengan berkata bahwa mereka menjadi alasanmu menangis sedangkan saya menjadi alasanmu tertawa. Maka kamu bisa memilih ingin selalu menangis atau selalu tertawa. Kamu pun tertawa mendengar perkataan saya itu. 

Padahal jika kamu berusaha sedikit kritis dengan perkataan saya. Kamu akan sadar bahwa seperti selalu menangis, selalu bahagia juga buruk. Tidak ada yang paling menjenuhkan dari sesuatu yang berjalan monoton. Makanya perlu ada kesedihan agar kebahagiaan menjadi sesuatu yang amat berharga. Kita tidak pernah bisa benar-benar paham arti bahagia tanpa sesekali merasakan sedih. 

Obrolan kita membuat saya menyadari bahwa kamu memang sedikit bodoh. Itu yang membuat saya amat geregetan sama kamu. Saya merasa ingin melindungimu. Saya merasa ingin membimbingmu. Sederhananya, kamu bodoh tetapi saya suka. Saya cinta. Tentunya, saya tidak akan menjadikanmu segalanya. 

Oiya, Bodoh! Dengan siapa pun kamu nanti. Bahagia dan bersedihlah sekadarnya. 

*** 
Ketika kamu membaca ini, mungkin saya masih mencintaimu atau mungkin saya telah mencintai orang lain atau justru saya tidak sedang mencintai siapa-siapa – selain Allah, keluarga, dan impian-impian saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Flag Counter

Total Tayangan Halaman