Selamat membaca dan semoga memberi manfaat!

Jumat, 24 April 2020

Resensi Kemolekan Landak




Judul: Kemolekan Landak

Pengarang: Muriel Barbery

Penerjemah: Jean Coteau dan Laddy Lesmana

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2017


Kemolekan Landak merupakan novel yang mengangkat tema filsafat, kesadaran kelas, dan konflik pribadi. Muriel Barbery meramu kata-kata dengan apik dalam novel ini. Dia menggunakan kalimat pembuka yang menyentak dan disertai banyak kejutan setelahnya – satire dan sarkasme yang membuat kita tersenyum bahkan tertawa. 

Membaca Novel ini, kita akan diantarkan pada tiga karakter kuat yang memiliki kecerdasan tinggi. Tokoh-tokoh itu bernama Renee, Paloma, dan Ozu. Saya akan memaparkan suara-suara ketiga tokoh itu melalui resensi ini dan hal-hal yang bisa kita pelajari dari mereka bertiga. 

Novel ini dibuka dengan kalimat “Marx mengubah total pandanganku atas dunia.” Kalimat yang dikatakan oleh salah satu anak majikan Renee. Kalimat yang kemudian dia respons dengan berkata “Baca dulu Ideologi Jerman”. Kata-kata yang ia sesali karena berpotensi membongkar kedoknya sebagai orang cerdas. Menurut Renee untuk memahami gagasan Marx, mesti membaca Ideologi Jerman terlebih dahulu sebelum buku-buku lainnya. Itu soko guru antropologis semua tulisan Marx, katanya. 

Pernyataan Renee ini sebenarnya memberikan sindiran kepada orang-orang yang baru membaca sedikit karya penulis tertentu, kemudian telah merasa amat paham dengan pemikiran-pemikiran dari penulis itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menjumpai banyak yang seperti itu. Misalnya melekatkan nama Tolstoy, Murakami, Orwell, dan penulis lainnya di belakang namanya. Padahal baru membaca sedikit karya dari penulis itu atau bahkan mungkin belum sama sekali – mungkin hanya menemukan potongan kata-katanya di internet. Bikin geli, kan? 

Renee merupakan penjaga gedung yang sangat cerdas, tetapi harus menyembunyikan kecerdasannya. Sebagai penjaga gedung, jika kecerdasannya ketahuan, itu tidak akan menyenangkan orang-orang kaya di sekitarnya. Penjaga gedung yang ketahuan memahami seni, sastra, dan membaca buku Marx akan dianggap aneh, bahkan subversif. 

Hal itu yang membuat Renee harus merahasiakan kecerdasannya. Dia mesti menjaga citra dirinya seperti penjaga gedung kebanyakan. Harus terlihat bodoh. Dia pun selalu memutar televisi dengan volume keras agar terdengar dari luar. Itu bisa menjaga citranya sebagai penjaga gedung yang hanya bermalas-malasan di depan televisi. Dia harus tetap membuat orang lain meremehkan pengetahuan yang dia miliki karena status sosialnya. 

Perihal menyembunyikan kecerdasan ini, bukan hanya Renee yang melakukannya, Paloma juga. Paloma adalah siswa SMP berusia 12 tahun yang memiliki pengetahuan setingkat universitas. Dia memandang hidup itu absurd dan berencana mengakhiri hidupnya di usianya yang ke tiga belas tahun. Dengan membakar apartemen dan minum banyak pil tidur. Dia ingin menghukum orang tuanya yang memiliki kekayaan berlebih agar merasakan kesedihan orang miskin – dengan kehilangan anak dan hartanya. 

Melalui Paloma, Muriel Barbery menyindir kemunafikan orang-orang dewasa yang selalu ingin tampil bijaksana dan tegar dalam menghadapi apa pun. Namun kenyataanya, mereka sangat rapuh. Paloma juga berkata bahwa anak-anak selalu percaya pada ceramah orang dewasa dan ketika dewasa, dia pun balas dendam dengan mengibuli anak-anaknya. Perkataan Paloma itu menyajikan fakta bahwa setiap anak memercayai semua perkataan orang tuanya. Ketika beranjak dewasa, mereka menyadari banyak yang keliru dari perkataan-perkataan itu. Namun, alih-alih memutus rantai masalah itu, mereka malah melakukan hal yang sama pada anak-anaknya dan itu berlangsung terus-menerus. 

Begitulah yang terjadi bagaimana orang tua mendikte anak-anak dan menyembunyikan kenyataan hidup yang sebenarnya. Padahal kata Paloma, anak-anak mesti diberitahukan sejak dini bahwa hidup itu absurd. Mungkin akan sedikit mengurangi kesenangan masa kecil, tetapi setidaknya mereka sudah bisa mempersiapkan diri – sebelum segalanya terlambat dan kelabakan menghadapinya ketika dewasa. 

Paloma juga mengatakan bahwa usia SMP adalah masa emas bagi setiap orang untuk mencerna apa saja. Lebih baik ketimbang siswa SMA atau mahasiswa yang mulai terpengaruh efek kedewasaan dan bersiap memasuki kolamnya. Menurut Paloma, di usia mereka, jika orang dewasa menjelaskan segala sesuatu dengan baik dan dengan penuh semangat, itu mampu membuat mereka tertarik dan dapat memahaminya. Pada bagian ini, Paloma menyindir kebiasaan orang dewasa yang meremehkan anak-anak – dengan membatasi informasi-informasi yang seharusnya bisa segera mereka pelajari. 

Selain itu, Paloma mengkritisi cara mengajar gurunya yang monoton dan tidak substantif. Menurutnya, mereka diajarkan sastra tanpa sastra dan bahasa tanpa kecerdasan bahasa. Di dalam dunia nyata, kita menjumpai banyak hal yang seperti ini. Banyak guru yang tidak paham materi yang mereka ajarkan, bahkan ada yang tidak tahu mengajar sama sekali, tetapi justru menjadi guru. Itulah mengapa pendidikan kita sebegitu bobroknya. Bukan hanya sistemnya yang bermasalah, tenaga pengajarnya juga. 

Selanjutnya, Ozu datang sebagai orang dewasa dan orang kaya yang berbeda dengan kebanyakan orang kaya dan orang dewasa – yang angkuh dan bebal. Ozu adalah karakter orang yang tidak menilai orang lain dari status sosial dan usianya. Dia tipe orang yang berfokus pada apa yang disampaikan, bukan orang yang menyampaikan. Sesuatu yang sulit dijumpai dalam kehidupan kita yang senantiasa meremehkan orang yang tidak berpunya dan masih anak-anak. Perlakuan yang berbeda ketika berhadapan dengan orang kaya dan punya modal sosial lainnya. Seburuk apa pun gagasannya akan dianggap brilian. 

Renee diremehkan oleh orang sekitarnya karena dia miskin. Dianggap sebagai penjaga gedung yang bodoh. Bagi orang kaya, semua orang miskin itu tidak akan mampu mengakses kemewahan pengetahuan. Paloma juga tidak dipertimbangkan gagasannya oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya karena dianggap anak-anak. Superioritas orang-orang dewasa memang membuat mereka meremehkan kecerdasan anak kecil. Istilah untuk ini disebut ageisme. Diskriminasi terhadap orang lain karena usianya, biasanya ditujukan kepada anak-anak. 

Berbeda dengan Ozu, dia memosisikan dirinya sama dengan Renee. Itu yang membuat mereka bertiga akhirnya berteman. Memiliki kesamaan jiwa. Pertemuan pertama Ozu dan Renee ketika hari pertama Ozu pindah ke gedung apartemen yang dijaga oleh Renee. Pertemuan yang amat berkesan. Ketika Renee merespons perkataan salah satu majikannya dengan berkata “semua keluarga bahagia” terus disambung oleh Ozu dengan berkata “tetapi semua keluarga tidak bahagia tidak sama dengan yang lainnya”. 

Percakapan singkat itu membuat Renee tersentak. Kalimat itu adalah kalimat pembuka dari novel Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina. Sastrawan rusia yang sangat disenangi oleh Renee. Makanya Renee menamai kucingnya Leo. Kucing yang tiba-tiba keluar bergelayut manja di kaki Ozu dan Ozu pun menanyakan nama kucing itu – yang dijawab oleh majikannya Renee dengan berkata Leo. Maka terbongkarlah identitas Renee di hadapan Ozu. 

Ozu menyadari bahwa Renee adalah orang yang cerdas. Memiliki selera yang sama dengan dirinya. Maka ketika bertemu dengan Paloma secara tidak sengaja di lift, mereka pun berbincang-bincang dan membahas Renee. Paloma juga sudah lama menaruh kecurigaan pada Renee karena pernah mendapati Renee menjatuhkan rak belanjaanya yang di dalamnya terdapat buku terbitan Vinn. Buku yang biasanya hanya dibaca oleh orang-orang cerdas. Mereka pun bersepakat ingin mencari tahu bersama. Ozu sengaja mengirimkan paket ke Renee yang berisi buku Anna Karenina yang kemudian menjadi awal pertemanan dekat mereka. 

Pada hari berikutnya, tibalah pertemuan Renee dengan Paloma. Paloma diminta kakaknya datang untuk mengambil paketnya di bilik Renee. Paloma datang menemui Renee dan menyukai cara Renee memperlakukannya. Renee memperlakukan dirinya setara dengan Paloma. Bagi Renee mengubah nada bicara dengan melembut-lembutkannya pada anak kecil adalah pelecehan. Itu yang membuat Paloma menyenangi Renee. Dia merasa tidak diremehkan. Obrolan yang kemudian menjadi awal pertemanan mereka pula. 

Hari-hari selanjutnya Ozu, Renee, dan Paloma sering mengobrol tentang banyak hal. Mereka menjadi sangat akrab. Renee bahkan sudah menganggap Paloma sebagai anaknya. Paloma menganggap Renee sebagai kembaran jiwanya. Ozu yang akhirnya menyukai Renee. Mereka saling suka. Pada suatu acara makan malam, Ozu berkata begini kepada Renee “Kita bisa berteman. Atau apa pun yang kita inginkan.” Perkataan itu membuat mereka semakin intim. 

Dalam novel ini juga, ada bagian Renee menyindir orang-orang yang berkutat pada hal-hal yang tidak berguna – mengorbankan banyak tenaga untuk mencari sesuatu yang tidak ada atau menggeluti pemikiran absurd. Terutama orang-orang yang menghasilkan karya yang tidak bermanfaat. Menurut Renee dalam berkarya harusnya hanya satu yang dipegang: tujuan. Apakah tujuan itu untuk meningkatkan pemikiran dan membela kepentingan bersama atau justru sebaliknya. Hal seperti itu yang dilupakan oleh banyak penulis, terutama penulis-penulis populer saat ini. Juga oleh mahasiswa yang membuat skripsi, tesis, atau disertasi – sekadar untuk memperoleh gelar dan janji kemewahan status sosial yang menyertainya. 

Dari perbincangan-perbincangan Ozu dan Renee, kita diantarkan pada keindahan seni: lukis dan musik. Hal yang menarik ketika Ozu berkata bahwa mencintai alam membuat kita menyadari betapa kita begitu tidak bermanfaat dan menjadi parasit dipermukaan bumi. Keserakahan yang tidak pernah terpuaskan yang menyebabkan itu. Jika ingin jujur, manusia memang tidak memiliki manfaat sama sekali, setiap dari kita menyumbang kerusakan besar terhadap bumi. 

Membaca Novel ini, kita mendapatkan banyak hal. Ada banyak kritikan yang disampaikan Muriel melalui tokoh Renee, Paloma, dan Ozu. Melalui Renee, Muriel juga mengkritik psikoanalisis Freud dan fenomenologi Husselr. Perihal itu kalian bisa membacanya sendiri. Sementara melalui Paloma, Muriel juga menyindir orang-orang yang meremehkan keindahan tata bahasa. Dalam novel ini, tata bahasa menjadi salah satu pusat perhatian. Kita bisa sambil belajar kebahasaan dari novel ini. 

Selain itu, bagi pecinta manga atau anime Hikaru no Go pasti menyukai bahasan Paloma tentang itu. Filosofi permainan Go sangat bagus: untuk menang tidak perlu membunuh, hanya harus hidup dan membiarkan lawan juga tetap hidup. Kemenangan hanyalah konsekuensi atas kelihaian kita lebih banyak menguasai area. Ini bagus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa untuk maju, tidak perlu dengan menjatuhkan orang lain – hanya perlu menjadi lebih menonjol lagi. 

Lalu pada bagian Ozu, kita bisa belajar menjadi orang yang begitu ramah dan tulus. Memperlakukan setiap orang setara dengan kita. Kemudian bagi mereka yang selalu menilai bahwa laki-laki selalu mengutamakan kecantikan, bukan hanya kecerdasan – bisa menyelami karakter Ozu dalam novel ini. Bagi saya, kecerdasan lebih dari cukup di atas segalanya. Jika Renee menganggap kecerdasan sebagai satu-satunya senjata umat manusia, saya memandangnya sebagai sesuatu yang paling memikat dari umat manusia. 

Ketika membaca novel ini, saya sering dibuat senyum-senyum, tertawa, dan berdecak kagum. Menyelami setiap ramuan kata-kata Muriel juga membuat saya membayangkan diri sebagai Ozu, Renee sebagai kekasih, dan Paloma sebagai anak saya. Saya memimpikan pasangan dan anak yang cerdas seperti Renee dan Paloma. Jika tertarik merasakan efek seperti saya, bahkan lebih dari saya, silakan baca sendiri novel ini. Ada banyak hal yang bisa kalian temukan sendiri, dari sekadar membaca ulasan saya.


*Buku ini bisa kalian dapatkan di instagram @pustakamerahitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Flag Counter

Total Tayangan Halaman