Selamat membaca dan semoga memberi manfaat!

Rabu, 24 April 2019

Adakah Alasan Bagi Saya Untuk Meratapi Perempuan Itu?

Tidak ada yang paling menjemukan dituding melakukan sesuatu yang tidak kamu lakukan atau dituduh merasakan sesuatu yang tidak kamu rasakan. Demikianlah yang saya alami sekarang. Orang-orang di sekitar saya masih kerap menuding atau menuduh saya belum move on dari masa lalu. 


Barangkali mereka menemukan kesenangan di situ. Atau barangkali mereka gunakan itu untuk menghibur dirinya sendiri. Acap kali seseorang menuduh orang lain dengan sesuatu yang dia rasakan – dia membicarakan dirinya sendiri dengan menjadikan orang lain sebagai subjeknya. Banyak orang yang seperti itu. 


Karena hal itulah, saya merasa perlu menulis ini. Jika setelah menulis ini, saya masih dituding demikian. Saya tidak peduli. Terserah mereka saja! 

Saya akan memulai tulisan ini dengan menceritakan diri saya sebelum bertemu perempuan itu. Anggap saja namanya Mawar. Saya pikir itu tepat untuk menggambarkan sosoknya yang indah. Namun berduri. #Jleeepp! 


Sewaktu awal-awal menjadi mahasiswa, saya berpacaran dengan teman seangkatan. Hubungan kami tidak sehat. Saling memenjarakan dengan mengalasankan cinta dan cemburu. Hubungan kami pun putus-nyambung. Tentu pertengkaran senantiasa mewarnainya. Meskipun begitu, saya amat mencintainya – waktu itu. 



Sepuluh bulan pacaran, saya mengetahui ketidakjujurannya. Ternyata dia memiliki pacar di kampungnya. Dia sudah jalan dua tahunan. Saya selama ini adalah selingkuhan. Saya pun mengakhiri hubungan dan patah hati untuk yang pertama kali. Untuk menyembuhkannya, saya menyibukkan diri dengan banyak melakukan kegiataan bermanfaat: aktif dalam organisasi dan membenahi isi kepala dengan banyak membaca. 



Awalnya saya aktif dalam lima organisasi. Belakangan fokus pada satu organisasi saja. Organisasi yang saya fokusi adalah yang memantik saya untuk selalu betah bertualang di belantara kata dan rimba pikiran. Berada di sekeliling pembaca, memicu saya banyak membaca pula. 



Jika sewaktu SMA saya banyak membaca buku-buku motivasi dan novel-novel Andrea Hirata. Ketika kuliah saya pun berkenalan dengan pemikiran Fahd Djibran. Saya suka pemikirannya yang mengkritisi orang-orang yang selalu mengambinghitamkan setan atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Berkat dia, saya menyukai tulisan yang memuat kritikan. 



Pikiran saya pun berlanjut berkenalan dengan karya-karya Okky Madasari, Ayu Utami, Rama Wirawan, Ahmad Tohari, Seno Gumira, Yusi Alvianto, dan Eka kurniawan. Dua nama terakhir adalah penulis Indonesia yang karyanya paling saya gandrungi belakangan ini. Kemudian beberapa teman mengenalkan saya dengan gagasan Albert Camus, Paulo Coelho, Jostein Gaarder, Leo Tolstoy, George Orwell, Dostoyebsky, Haruki Murakami, Yukio Mishima, Ernest Hemingway, Franz Kafka, Oscar Wilde, dan Milan Kundera. Dua nama terakhir yang kemudian menjadi penulis luar favorit saya. 

Selain membaca novel-novel dari penulis-penulis di atas, saya juga meluangkan waktu membaca gagasan Erich Fromm, Ivan Illich, Larry Gonick, Richard Dawkins, Friedrich Nietzche, Benedict Anderson, Jean Sartre, Paulo Freire, Alexander Sutherland Neil, Mikhail Bakunin, Alexander Berkman, Noam Chomsky, Yuval Noah Harari, dan beberapa penulis lainnya. Namun berbeda ketika membaca novel, kebanyakan dari buku-buku penulis nonfiksi tersebut – tidak saya tuntasi. Membaca bagian-bagian tertentu saja. Itu kebiasaan buruk yang masih muskil saya ubah. 

Berkat membaca karya-karya penulis di atas, seperti kebanyakan mahasiswa – saya pun mulai pamer bacaan. Mulai di ruang-ruang kelas, maupun di luar kelas. Bersama teman-teman saya, kami sengaja menghadiri kegiatan diskusi untuk membabat habis pematerinya. Itulah yang memotivasi kami untuk selalu membenahi bacaan – agar bisa selalu mendominasi pembicaraan. 

Empat tahun belakangan ini, kami tidak seperti itu lagi. Kami sadar itu sesuatu yang keliru. Kami berusaha belajar ramah pada pluralitas berpikir. Kami pun belajar banyak mendengar dan belajar cuek dengan pemikiran orang lain – yang menurut kami amat picik. Kami sadar, jika mendebatinya hanya akan buang-buang waktu dan tenaga. Saya sendiri lebih fokus untuk menuliskannya saja, ketimbang mendebati orang yang bersangkutan – kecuali jika dia meminta pendapat saya. 

Sebelum sampai pada kesadaran itu, saya dan teman-teman menggunakan bacaan untuk memanipulasi perempuan. Biasanya mahasiswi baru. Kami paham betul bahwa perempuan begitu senang dengan laki-laki yang pandai bicara. Laki-laki yang terlihat cerdas dan bisa mereka andalkan. Kami pun menggunakan retorika sebagai senjata utama kami. Kami selalu berhasil memacari perempuan yang benar-benar kami mau. 

Beberapa teman saya sampai sekarang masih ada yang demikian. Sementara saya berhenti sejak berkenalan dengan Mawar. Mawar membuat saya memutuskan berhenti bertualang dengan banyak perempuan. Kemudian fokus dengan dirinya. Selain itu, dia juga membuat saya kembali memercayai keberadaan Tuhan yang telah lama saya ragukan semenjak berkenalan dengan gagasan Larry Gonick dan Richard Dawkins. 

Ketika berkenalan dengan Mawar pula, saya mulai tertarik dengan gagasan feminisme. Saya mulai berkenalan dengan Simone de Beavoir, Emma Goldman, Sylvia Walby, Virginia Woolf, Mansour Fakih, dan penulis lainnya. Saya menertawai diri saya yang dulu – yang amat misoginis: seksis dan patriarkis. Untuk semakin menyelamatkan saya dari kedangkalan pikiran tersebut, saya pun menjadikan ideologi patriarki sebagai fokus kajian skripsi. 

Saya membenahi pemikiran dengan didampingi Mawar. Kami bersepakat mencipta keluarga bahagia yang setara dan literatif nantinya. Di rumah harus ada perpustakaan. Televisi hanya untuk memutar video-video edukatif. Rumah harus memiliki pekarangan untuk berkebun bersama anak-anak. Kita akan memelihara kucing dan rencana-rencana lainnya. 

Untuk menghidupi impian-impian itu, selain mengajar, kami juga membangun usaha bersama – dengan menjual jilbab, gamis, dan perlengkapan muslimah lainnya. Kami ikut berpartisipasi dalam Pasar Sabtu. Pasar swakelola yang digagas bersama oleh teman-teman. Sebuah wadah ekonomi alternatif yang dikelola bersama secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah. 

Setelah meraih gelar sarjana, orang tua Mawar menginginkan kami segera menikah. Saya pun membawa Mawar ke rumah untuk bertemu orang tua. Kemudian saya menyampaikan keinginan pada orang tua untuk dinikahkan. Kedua orang tua saya tidak setuju jika saya menikahi Mawar karena berbeda suku dengan kami. Rasialisme di kampung saya memang masih kental. 

Saya pun membujuk Mamak saya dengan mengatakan bahwa kebaikan seseorang itu bukan dilihat dari sukunya. Setiap suku berpotensi menjadi jahat atau baik. Tidak semua suku Bugis itu baik dan tidak semua suku Makassar itu jahat. Begitu pun sebaliknya. Insyaallah, Mawar akan jadi menantu yang baik buat Mamak dan Bapak. 

Mendengar bujukan saya, Mamak kemudian bilang bahwa Bapak ingin saya melanjutkan studi dahulu dan menjadi dosen. Mamak pun menyarankan saya untuk menuruti keinginan Bapak. Setelah selesai, Mamak akan membantu saya membujuk Bapak. Saya pun menyetujui dengan syarat Mamak datang menemui Mama Mawar untuk memintanya bersabar menunggu saya menyelesaikan S-2 dan menjadi dosen. Mamak menyanggupinya. 

Saya dan Mamak pun ke rumah Mawar menyampaikan kondisi saya yang harus lanjut S-2 dan jadi dosen dahulu. Mama Mawar memaklumi dan mengatakan semuanya bergantung anak-anak nantinya. Saya dan Mawar senang. Mawar juga punya impian ingin kerja di Aussie untuk kumpulkan modal bagi usaha-usaha kami. Kami ingin membuat kafe baca dan bimbingan belajar. Itu butuh modal banyak. Makanya dia memutuskan pergi kerja ke Aussie. 

Saya mempersiapkan diri mengikuti tes masuk di UPI Bandung sedangkan Mawar belajar Ielts untuk persiapan ke Aussie. Setelah diterima kuliah di UPI, kami pun mulai menjalani LDR. Setiap saat kerinduan membuncah di hati kami. Saling kirim pesan dan video call­-an tidak cukup ampuh menawarkan kerinduan kami. Rindu benar-benar menikam kami setiap harinya. 

Kami saling menguatkan diri bahwa LDR ini tidak akan berlangsung lama. Hanya dua tahunan. Kami harus kuat demi impian-impian kami di masa depan. Kami selalu saling mendoakan berharap orang tua saya mengubah hatinya untuk segera menikahkan kami. Doa itu terus kami panjatkan. 

Beberapa bulan saya kuliah di Bandung, Mawar pun akhirnya akan berangkat ke Aussie. Sebelum berangkat, dia datang mengunjungi saya ke Bandung. Dia ingin bertemu saya dahulu sebelum ke Aussie. Dia tinggal semingguan. Kami memanfaatkan itu untuk mengunjungi tempat wisata di Bandung. Bersama teman-teman kelas saya, kami mengunjungi Tangkuban Perahu, Floating Market, Punclut, dan beberapa tempat lainnya. 

Subuh ketika akan pulang ke Makassar, dia memeluk saya dengan sangat erat. Seolah-olah itu akan jadi pelukan terakhir. Barangkali karena kami sama-sama menyadari bahwa pertemuan kami berikutnya akan berlangsung sangat lama. 

*** 

Dua bulan kemudian, Mawar berangkat ke Aussie. Teryata, setiba di sana, keadaan pekerjaan tidak sesuai ekspektasinya. Dia begitu sulit mendapatkan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Sementara sewa apartemen amat mahal. Saya meminta dia bersabar, tetap berdoa, dan berusaha. Saya mengucapkan maaf kepadanya karena tidak bisa membantunya – selain berdoa dan menyemangatinya. 

Setelah menyebar lamaran di berbagai tempat, dia diterima bekerja sebagai housekeeping di hotel dan kasir di swalayan. Namun, setelah bekerja beberapa bulan, dia mengeluh karena gajinya hampir tidak cukup menutupi biaya hidupnya. Dia merasa sangat kewalahan. Apalagi katanya, teman-teman di sana hanya fokus dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang saling membantu. 

Mendengar pengakuannya itu, saya pun menghubungi teman-teman saya di sana untuk membantu dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Ketika menghubungi teman saya, saya justru mendapat kabar tentang dia yang sedang dekat dengan laki-laki. Saya pun menanyakan itu kepadanya, dia tiba-tiba menangis karena merasa dizalimi oleh teman-teman saya. 

Dia tiba-tiba curhat bahwa teman-teman saya memperlakukannya tidak baik. Bahwa dia dikucilkan. Dia tidak tahu apa kesalahannya sehingga diperlakukan demikian. Dia merasa semakin sakit hati karena difitnah dengan keji. Dia mengatakan itu dengan terisak-isak. 

Saya pun menghubungi teman saya lagi agar mereka tidak memperlakukan Mawar dengan buruk. Teman-teman saya mengatakan bahwa mereka tidak seperti itu. Mawar memang dihindari oleh beberapa teman di sana karena ketahuan suka mengadu domba orang lain. Mendengar itu, saya menjadi bingung. Namun, saya cenderung lebih memercayai Mawar. 

Sejak kejadian itu, Mawar begitu sulit dihubungi. Media sosialnya jarang aktif. Pesan WhatsApp saya kerap tidak terkirim. Ketika pesan saya terkirim, saya pun menanyakan mengapa dia amat sukar dihubungi. Dia mengaku handphone-nya sedang bermasalah. 

*** 

Beberapa hari kemudian, saya teleponan dengan Mawar. Dia mengatakan bahwa sedang didesak mamanya untuk segera menikah. Dia mengatakan itu dengan menangis terisak-isak. 

Saya pun menelepon Mama Mawar untuk memastikan itu. Mamanya mengakui bahwa sejauh ini dia menolak lamaran dari tiga laki-laki karena saya. Kali ini, dia harus menerimanya. Apalagi katanya saya belum bisa segera datang melamar. Kemudian, mamanya juga mengatakan bahwa dulu sewaktu Mamak saya datang ke rumahnya, dia belum menyetujui permintaan Mamak saya untuk menyimpan Mawar untuk saya. Mendengar itu, kepala dan dada saya seperti dihantam keras. 

Lalu saya mengatakan ke mamaknya, tidak adakah kesempatan saya lagi untuk datang, Ma? Insyaallah, saya akan membujuk orang tua saya untuk segera datang melamar setelah saya wisuda. Saya bisa menyampaikan kepada orang tua akan menjadi dosen atau mencari pekerjaan lainnya setelah menikah. Mamanya kemudian mengatakan bahwa keluarga besarnya telah mendesak Mawar untuk segera dinikahkan tahun ini. Saya pun hanya bisa terdiam. Kemudian Mama Mawar ingin mematikan telepon karena ada yang ingin dikerjakan. 

Kemudian saya menghubungi Mawar dan menyampaikan hal itu. Dia semakin menangis dan meminta waktu untuk berpikir. Dia butuh waktu menenangkan diri katanya. 

Dua hari kemudian, dia menghubungi saya. Katanya, mamanya meminta dia memilih saya atau mengikuti kemauan mamanya. Dengan berat hati, dia memilih untuk tidak memilih dari kedua pilihan tersebut. Dia tidak ingin menyakiti mamanya yang telah melahirkan dan merawatnya hingga besar. Dia juga tidak ingin menyakiti perasaan saya yang selama ini telah menemaninya selama empat tahunan lebih. Hubungan kami pun berakhir dan dia juga tidak jadi dinikahkan. 

Karena alasannya memutuskan hubungan seperti itu, saya justru semakin mencintainya. Saya merasa dia semakin bijak. Dia mengambil jalan tengah yang tidak menyakiti saya dan mamanya. Saya juga tidak ingin dia lebih memilih saya karena itu hanya akan membuat mamanya sakit hati -- kemudian tidak senang dengan saya.

Hubungan kami berakhir tanpa saya merasa tersakiti. Karena itulah saya masih tetap betah berkomunikasi dengannya. Dia juga kerap menyampaikan kepada saya agar tidak khawatir. Dia menegaskan bahwa tidak ada laki-laki lain. Masih saya yang selalu ada di doa-doanya. Tentu, saya sangat senang mendengar perkataannya itu. 

*** 

Bulan depannya, tepatnya Mei 2018. Mawar mengabari saya bahwa laki-laki yang digosipkan dengan dia oleh teman-teman saya – menghubungi Mama Mawar dan menyampaikan keinginan untuk datang melamar. Kata Mawar, mamanya condong ingin menerima lamaran laki-laki itu. Mawar meminta saya untuk memperjuangkannya. Dia meminta saya pulang ke Makassar untuk berbicara langsung dengan mamanya. 

Sebelum mengiyakan. Saya meminta Mawar terbuka kepada saya perihal hubungannya dengan laki-laki itu. Dia mengaku tidak memiliki hubungan apa-apa. Laki-laki itu yang katanya gencar mendekatinya. Laki-laki itu yang sering menunggunya di jalan pulang kerja sehingga seolah-olah janjian jalan berdua. Saya memercayai semua perkataannya itu. 

Kemudian saya mengatakan ke dia bahwa saya akan pulang ketika hari libur semester tiba – akhir Mei. Saya berulang kali menanyakan perasaanya – apakah dia benar-benar ingin diperjuangkan? Saya menanyakan itu untuk memastikan keteguhan hatinya. Saya menyampaikan kepadanya bahwa ketika dia minta diperjuangkan, berarti dia juga harus siap berjuang – dengan teguh menolak lamaran laki-laki itu. Dia mengiyakan dan meminta saya untuk tidak mengkhawatirkan perasaannya – hatinya masih selalu sama – untuk saya. 

*** 

Pada tanggal 29 Mei 2018, saya pulang ke Makassar. Saya membawa banyak kecamuk di kepala dan di hati saya. Sepanjang perjalanan, saya memikirkan kata-kata apa yang mesti saya sampaikan kepada orang tua saya dan orang tua Mawar. 

Setiba di Makassar, saya menemui sahabat-sahabat saya dahulu. Menceritakan hal yang sedang saya alami. Mereka kaget mendengar cerita saya. Sepengetahuan mereka hubungan saya dan Mawar baik-baik saja. Sepengetahuan mereka Mama Mawar amat merestui hubungan kami. Kami sering makan bersama di rumah Mawar dan sewaktu saya berangkat ke Bandung, Mama Mawar ikut mengantar saya ke Bandara. 

Namun, semakin saya menceritakan segalanya dengan detail, sahabat saya merasa ada yang janggal. Mereka merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mawar. Saya mengatakan kepada mereka bahwa Mawar tidak mungkin membohongi saya. Dia tidak seperti itu. 

Besoknya, saya berkunjung ke rumah Mawar. Ingin bertemu mamanya. Sesampai di sana, rumahnya sedang direnovasi. Tempatnya tidak memungkinkan untuk mengobrol. Saya memutuskan untuk menunggu rumahnya selesai direnovasi. 

Kemudian, saya pulang kampung. Selama di kampung, saya membantu Bapak di sawah dan membantu Mamak di kebun. Sembari membantu Mamak di kebun, saya menceritakan mengenai kondisi Mawar yang akan dinikahkan. Saya membujuk Mamak untuk segera menikahkan. Mamak hanya bilang, saya mesti segera selesaikan studi. Setelah itu sama-sama membujuk Bapak segera menikahkan saya. 

Seperti kebanyakan keluarga Bugis, keluarga saya juga patriarkis. Segala keputusan itu mutlak berada di tangan Bapak. Saya tidak bisa membujuk Bapak karena saya amat tahu karakternya. Beliau tidak akan berkompromi mengadakan sesuatu, ketika sesuatu yang lebih dahulu dilakukan, belum selesai. Makanya nilai tawar saya hanya ada ketika saya menyelesaikan studi. 

*** 

Dua minggu kemudian saya kembali ke Makassar. Saya berkunjung lagi ke rumah Mawar. Rumahnya masih direnovasi. Saya hanya mengobrol dengan adik-adik Mawar. Mamanya sedang mengunjungi keluarga di Parangloe. Saya pun memutuskan sekalian menunggu Mawar kembali saja – Agustus dia ingin pulang mengurus berkas untuk kuliah di Aussie. Jadi, sekalian saya dan dia bisa sama-sama bicara dengan mamanya secara langsung. 

Untuk mengisi waktu luang selama menunggu Mawar kembali, saya mengajak teman-teman membuka lapak baca di Lapangan Syech Yusuf. Tujuannya sederhana, untuk membumikan literasi -- juga untuk menunjukkan bahwa untuk membaca buku bagus tidak melulu harus mengeluarkan duit. Kami kemudian mengajak komunitas-komunitas literasi yang lain untuk berkolaborasi. Agar bisa mengadakan lebih banyak kegiatan kreatif yang diakses secara gratis. 

Setelah berjalan beberapa hari, Lapangan Syech Yusuf ditutup karena sedang direnovasi. Kami pun pindah melapak ke Taman Sultan Hasanuddin dan berjalan rutin di sana. Selain lapak baca, kami juga mengadakan nobar film, galang donasi untuk korban penggusuran dan fenomena alam, dan kelas kreatif – kelas merajut dan kelas membuat buku catatan. 

*** 

Dua hari sebelum lebaran Iduladha, Mawar menelepon saya. Dia meminta saya menunda keberangkatan saya ke Bandung. Dia ingin bertemu dengan saya dahulu. Dia pulang akhir Agustus. Maka saya pun membeli tiket dengan jadwal awal September. 

Selain itu, dia juga menyampaikan pesan mamanya untuk meminta saya menginap di rumahnya dan lebaran bersama. Pada malam takbiran, saya pun ke rumahnya. Ada banyak hal yang kami obrolkan. Ada banyak basa-basi. Namun, tidak ada pembahasan mengenai saya dan Mawar. Saya juga sengaja tidak membahasnya. Saya menunggu Mawar kembali ke Indonesia dahulu. 

Setelah salat lebaran. Kami menyantap hidangan rutin setiap kali lebaran. Sebelum pamit pulang, saya menyampaikan ke Mama Mawar bahwa ada yang saya ingin bahas, tetapi saya menunggu Mawar tiba di sini dahulu. Mama Mawar menyampaikan sesuatu, tetapi terdengar samar-samar di telinga saya. Saya hanya tersenyum, kemudian pamit pulang. 

Sepanjang perjalanan, saya memikirkan apa yang tadi ingin disampaikan Mama Mawar. Saya tidak mendengarnya dengan jelas. Dahi saya berkerut. Kemudian, saya berusaha mengabaikannya. 

*** 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, tepat di hari ulang tahun saya, Mawar kembali ke Indonesia. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini dia seolah tidak peduli dengan hari ulang tahun saya. Saya berusaha tidak mempermasalahkannya. Ada masalah yang lebih urgen untuk kami bahas. Namun, saya mulai merasakan perubahan sikapnya yang begitu drastis. 

Saya semakin merasa aneh ketika dia tidak merespons pesan WhatsApp saya. Telepon saya juga tidak diangkat. Kemudian, sahabat saya bilang kalau dia bikin status, saya mengeceknya – tidak muncul di WhatsApp saya. Ternyata dia menyembunyikan statusnya dari saya. Saya menanyakan itu padanya. Akhirnya dia membalasnya. Dia bilang tak tahu-menahu mengenai itu. 

Dia juga bilang handphone-nya baru dia pegang. Mamanya menyita handphone-nya. Saya menanyakan alasannya. Kata dia agar dirinya bisa fokus sama keluarga. Tidak main handphone dahulu. Saya makin merasakan ada sesuatu yang janggal. Saya pun menuju rumahnya. 

Setiba di rumahnya, Mawar sedang tidur. Saya bilang ke mamanya, bolehkah Mawar dibangunkan. Mamanya bilang Mawar kecapaian dari belanja di Indo Mode dengan si bungsu. Kemudian saya bilang lagi, bolehkah saya menunggunya sampai terbangun. Namun, mamanya tidak membolehkan karena dia ingin keluar dahulu. Dia meminta saya datang kali lain lagi. Saya menanggapinya dengan berkata bahwa saya akan berangkat lusa. Kemudian mamanya bilang akan mengabari saya sebelum berangkat. Saya mengangguk, lalu pamit pulang. 

Sepanjang perjalanan pulang, saya memikirkan banyak kejanggalan. Saya merasa Mawar berubah. Dahulu ketika dia ke Indo Mode dia akan singgah dulu ke basecamp menemui saya. Apalagi kali ini, setelah setahunan tidak bertemu. Dahulu juga ketika saya datang ke rumahnya, meskipun sedang tidur – dia akan bangun cuci muka ketika mendengar suara saya. Kali ini dia seolah-olah pura-pura tidak mendengar. 

Sesampai di basecamp saya menghubungi sahabat saya yang juga sahabat dia (istri sahabat saya). Anggap saja namanya Anti dan suaminya bernama Putra. Saya menceritakan kejadian tadi kepadanya. Saya pun diminta Anti dan Putra untuk datang ke rumahnya. Ada yang ingin mereka sampaikan secara langsung. Tidak boleh melalui WhatsApp

Besoknya, saya ke rumah Anti dan Putra di temani Bian, sahabat saya juga. Setiba di sana, Putra meminta saya untuk siap mendengar segala sesuatu yang akan dia paparkan. Kemudian, berjanji tidak menyalahkan mereka. Saya pun menyetujuinya. 

Putra menyampaikan bahwa Mawar akan segera menikah. Sejak bulan Juni jadwalnya sudah mereka atur dan Mawar telah lama memilih baju pengantinnya. Pernikahan Mawar juga tidak ada proses paksaan sama sekali. Dia menikah dengan selingkuhannya sendiri. Lelaki yang digosipi dengannya oleh teman-teman di Aussie. 

Perpisahan adalah keniscayaan
Anti pun memperkuat perkataan suaminya dengan menunjukan percakapan WhatsApp­­-nya dengan Mawar. Saya membaca sendiri Mawar telah jalan dengan laki-laki itu sejak bulan Februari. Waktu itu, kami masih sangat mesra-mesranya. Saya juga membaca percakapannya yang telah memilih baju pengantin. 

Saya membaca chat Anti yang meminta Mawar untuk jujur kepada saya. Mawar hanya bilang bahwa saya juga akan tahu sendiri nantinya. Dia mengaku belum mencintai calon suaminya dan masih mencintai saya. Namun, Mawar menganggap cintanya akan muncul setelah menikah dengan suaminya dan perlahan akan melupakan saya. 

Membaca percakapan itu, saya hanya bisa menertawai diri saya. Bisa-bisanya saya ditipu habis-habisan seperti ini. Bisa-bisanya saya dimanipulasi sedemikian rupa. Namun, satu hal yang benar-benar saya syukuri: perasaan saya sangat lega. Seolah beban di pundak saya hilang semua. Saya seperti menjadi burung yang terbebas dari sangkarnya. Kini bisa mengepakkan sayap dengan bebas – ke mana saja yang ingin saya tuju. 

Setelah mengetahui kenyataannya, saya semakin percaya bahwa Allah menyayangi saya. Dia mengabulkan doa-doa saya. Sebelumnya, sebelum kembali ke Makassar, setiap kali usai salat di Masjid Daarut Tauhid – saya selalu minta kepada Allah untuk ditenangkan batin saya jika nanti saya mendapati kenyataan sebenarnya – kenyataan bahwa saya dan Mawar memang tidak ditakdirkan bersama. Hari itu, Allah mengabulkan doa saya. 

Dada saya menjadi sangat lapang. Justru Bian yang tidak berhenti menggerutu dan mengutuk Mawar. Dia tidak menyangka Mawar bisa berubah sedrastis itu. Menjadi orang semunafik itu. Saya pun hanya bisa tertawa dan berkata: bukan jodoh, Brad! 

*** 

Agar orang-orang yang mengenal kami tidak lagi menyangkut-pautkan kami, saya pun merasa perlu menyebarluaskan kenyataan sebenarnya di Instagram. Saya menjelaskan kronologisnya secara singkat dan padat. Banyak teman dan adik-adik yang menyayangkan kenyataan tersebut dan menyampaikan rasa simpatinya kepada saya. Saya berkata kepada mereka bahwa saya baik-baik saja dan bersyukur semuanya menjadi jelas. 

Sebelum-sebelumnya saya merasa bersedih karena mengira kami korban dari keputusan orang tuanya. Makanya saya pulang ke Makassar untuk memperjuangkan dia. Saya merasa harus melakukan itu karena mengira dia benar-benar mencintai saya. Setelah saya tahu kebohongannya, perasaan cinta saya seketika berganti wajah. Saya pun bisa lebih fokus dengan pendidikan dan impian saya yang lain. 

*** 

Pagi hari sebelum saya berangkat ke Bandung, saya mengirimkan pesan WhatsApp kepada Mawar. Percakapan kami seperti di bawah ini:

Saya: "Assalamu Alaikum, Mawar.

Sedari awal kita pacaran, saya sudah bilang kalau ada laki-laki lain, tinggal jujur saja. Saya akan pergi dengan sendirinya. Saya tidak akan pernah memaksakan kehendak. Saya memang amat mencintaimu, tetapi bukan berarti kamu jadikan itu sebagai alasan untuk memperlakukan saya dengan semena-mena.

Seharusnya, sejak sebelum bulan dua yang lalu kamu sampaikan itu. Terus tidak perlu membohongi saya. Jadi saya tidak perlu repot-repot kembali ke kampung untuk membujuk orang tua dan meminta dukungan keluarga yang lain untuk dinikahkan tahun depan.

Andai dari awal kamu sampaikan. Saya sudah jauh-jauh hari menata impian saya kembali tanpa ada kamu lagi di dalamnya. Tetapi sudahlah. Mungkin itu caranya Tuhan memberikan saya karma atas kesalahan saya di masa lalu.

Oiya. Terima kasih untuk segalanya. Setidaknya saya banyak berubah karena kamu. Saya kembali percaya Tuhan dan Agama karena kamu. Terima kasih untuk itu. Semoga Mawar jadi keluarga bahagia dengan Fulan. Semoga segala hal-hal baik menyertai keluarga kalian. Wassalam.😊"

Mawar: "Wa'alaykumsalaam.
Tidak sy sampaikan karena belum ada kepastian.
Dan setelah mamaku cerita kemarin kalau sdh kasi tau Adi.

Chat yang kemarin juga kan sy bilang, kalau keluarganya datang ya sy terima.
Sy diminta menikah tahun ini.

Terima kasih juga, Adi.

Oiya, bukan tgl 5. Tp rencana tgl 9. Masih rencana krn sampai skrg belum ada kabar dari keluarganya kak Fulan.
Mohon doanya biar semuanya lancar. 
Semoga karir Adi lancar dan diberkahi Tuhan." 

Saya: "Saya pamit dari hidupmu yah. Insyaallah saya tidak dendam. Saya mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga pernikahanmu lancar dan senantiasa dikaruniahi kebahagiaan setelahnya.😊

Semoga Fulan tidak memperlakukanmu secara buruk. Semoga kalian selalu akur dan langgeng, hingga dunia-akhirat. Oiya, jangan lupa menjadi ibu yang keren bagi anak-anakmu nanti. Ajarilah mereka untuk jujur sejak dini. Dunia ini krisis kejujuran, semoga mereka yang mengubah keadaan demikian di masa depan.😊

Juga, jangan lupa hidup bersama dengan buku-buku.😉"

Mawar: "Aamiin.. Jaga diri elok-elok.."

Saya: "Mawar. Jangan terus seperti ini. Tetaplah jujur mesti itu pahit. Itu jauh lebih baik.

Saya sudah tahu semua dari Putra. Terus saya baca chat-chatmu sama Anti juga. Saya bahagia membaca kebahagiaanmu! Alhamdulillah.😊"
(Respons saya atas chat balasannya yang pertama) 

Mawar: "I know. Dan mmg belum ada lamaran. 😅 
Kak Fulan sj ke sini tgl 5. Bagaimana bisa akad tgl 5.. Hehe"

Saya: "Tanggal 9 akad dan 22 resepsi. Saya tahu, Mawar. Tolong berhenti perlakukan saya seolah tidak tahu apa-apa. Pergilah dengan cara baik-baik. Jangan seperti ini.😊"

Mawar: "Dibilang baru rencana. Kalau tgl 9, insyaa Allaah jd kalau tdk diubah ji lg. Tgl resepsinya juga baru mau disesuaikan. Akan sy share kalau semuanya fix. Ada lagi? Sebelum mamaku bangun dan ambil lg hpku."

Saya tidak merespons lagi chat-nya, kemudian memblokir kontaknya. Bukan karena saya sakit hati ditinggal nikah. Saya tidak mempermasalahkan Mawar ingin menikah dengan siapa saja yang dia mau. Itu hak dia dalam memilih pasangan. Namun, tidak seharusnya dia membuang-buang waktu saya dengan kebohongannya. Andai sedari awal dia lebih berani jujur, saya tidak perlu repot-repot pulang membujuk orang tua untuk segera dinikahkan. 

Membaca respons dia atas chat-chat saya dengan tanpa merasa bersalah sama sekali -- membuat saya menertawai diri sendiri. Bisa-bisanya saya pernah mencintai perempuan yang tidak berperasaan seperti dirinya. Namun, saya tidak menyesali pernah amat tulus mencintainya dan begitu memercayainya. Setidaknya, saya telah menjadi kekasih yang baik dan selalu setia untuknya. Setidaknya itu membuktikan bahwa saya telah menjadi pribadi berbeda dari sebelumnya – dan menganggap perlakuannya ini sebagai karma atas kesalahan-kesalahan saya di masa lalu. 

*** 

Setelah saya memaparkan itu semua, saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana: adakah alasan bagi saya untuk meratapi kepergian perempuan seperti itu dari hidup saya? Perihal perasaan saya, seperti yang saya bilang di atas -- saya justru merasa amat lega. Apalagi Joker pernah berkata bahwa apa pun yang tidak membunuhmu, akan membuatmu kuat! Yoshaaa!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Flag Counter

Total Tayangan Halaman