Selamat membaca dan semoga memberi manfaat!

Senin, 25 Februari 2019

Jatuh Cinta Biasa Saja

“Ketika rindu menggebu-gebu, kita menunggu. Jatuh cinta itu biasa saja. Saat cemburu kan membelenggu, cepat berlalu. Jatuh cinta itu biasa saja.” 


Dendangan lagu dari Efek Rumah Kaca menemaniku bersantai di rumah. Kali ini, aku menikmati menjadi manusia kamar dan bergumul dengan buku-buku. Aku hanyut dalam lagu dan bacaan. Aku amat menikmatinya. Aku memang lebih senang membaca buku sambil mendengarkan musik. Musik memiliki cara tersendiri membuatku berlama-lama hanyut dalam bacaan. 

Aku menyukai lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca karena berbeda dari kebanyakan band. Lirik lagunya keren, menyampaikan pesan kritis terhadap fenomena sosial—menyampaikan suara-suara dari kaum yang terpinggirkan dan kritikan terhadap hegemoni penguasa. 

“Segitu sukanya kau dengan lagu Efek Rumah Kaca, sedari tadi telinga kita hanya dimanja oleh nyanyian mereka,” tegur temanku yang beberapa hari ini juga lebih betah menjadi manusia kamar bersamaku. 

Aku meresponsnya dengan tertawa. 

“Apa yang membuatmu begitu jatuh hati pada tiap lirik lagu ini?” 

“Hmm, setiap liriknya punya pesan atau kritik sosial. Selain itu, lagu-lagu cintanya lebih filosofis.” 

“Filosofis bagaimana maksudmu?” 

“Ia tak menyiratkan kehidupan percintaan yang dramatis dan menjemukan. Kebanyakan band lainnya, melulu menyanyikan lagu yang mendayu-dayu. Menurutku, itu amat menggelikan.” 

Temanku balik tertawa. Barangkali ia sepakat dengan perkataanku atau justru menganggapku aneh. Aku tak tahu. 

Beberapa saat kemudian, aku menutup buku dan menyelipkan pembatas pada halaman terakhir yang kubaca. Lalu aku berdiri di dekat jendela dan melihat ke luar dengan mata menerawang. Aku suka melamun. Selain baca buku dan mendengarkan musik, hal yang juga menyita waktuku adalah melamun. 

Melamun merupakan caraku untuk berbicara pada diri sendiri—merefleksi keseharian, ingatan, dan kenangan pada sesuatu yang penting maupun tak penting. Dalam kondisi itu, aku bisa berpikir bebas dan lepas dari berbagai beban hidup yang menjerat. Tak jarang, aku mendapat pemikiran unik yang langka sebagai buah lamunan. Ide yang terkadang gila, namun disenangi oleh teman-temanku. Aku tak tahu, mereka benar-benar senang atau sekadar ingin menyenangkanku. Entahlah. 


“Jatuh Cinta Biasa Saja” kembali mengalun dan mengarahkan lamunanku pada drama-drama dari pelakon cinta di sekitar ruang hidupku. Aku sering melihat orang-orang yang dimabuk cinta, begitu absurd dalam pikir dan tindaknya. Mengabai hal penting dan terjebak pada hal konyol—teleponan berjam-jam sehingga lupa makan seharian. Karena baginya, ia sudah kenyang ketika mendengar suara kekasihnya. Hal seperti itu, membuat perutku serasa dikocok dan ingin muntah tepat pada mulut si pelontar kata-kata tersebut. Hueekk! 

Ada juga yang lebih geli – pasangan kekasih yang bertengkar saat di perjalanan. Tiba-tiba saja, perempuannya minta diturunkan dari kendaraan, lalu laki-lakinya membujuk. Sepanjang perjalanan seperti itu, lelaki memelankan laju kendaraannya, sambil membujuk perempuan agar berhenti marah. Si perempuan enggan naik ke kendaraan, ketika lelakinya tak bekerja keras dalam membujuknya. Selain itu, drama yang tidak kalah menggelikan, ketika pasangan pejalan kaki yang bertengkar. Dramanya seperti film-film india—tarik-tarikan dan kejar-kejaran sepanjang jalan, tanpa mengacuhkan orang lain di sekelilingnya. 

Selain membuat geli seperti di atas, ada juga kisah cinta yang memiriskan; percintaan yang menghadirkan dominasi pada relasi yang mereka jalani. Relasi percintaan yang tak sehat karena ada pihak yang berlaku sebagai peguasa dan dikuasai. Yang mendominasi menyiksa lahir dan batin kekasihnya dengan mengatasnamakan cinta, pun sebaliknya—yang dikuasai rela tersiksa lahir dan batin demi orang yang dikasihinya. Bahkan tindak kekerasan dan berbagai hal absurd lainnya, tak lagi dihiraukan. Atas nama cinta, semua itu diwajarkan—konsekuensi dari dicinta dan mencinta katanya. 

Aku sungguh tak paham dengan tindakan orang-orang yang rela berbuat apa saja demi orang yang ia cintai—bahkan tak peduli menyakiti dirinya sendiri. Karena yang kupahami bahwa cinta itu saling menghidupi, saling menghadirkan kebermaknaan pada pasangan. Cinta tak akan pernah tega menyakiti, karena ketika melukai cintanya berarti menohok hatinya sendiri. Layaknya kasih Ibu pada anaknya atau kasih Sang Maha pada mahkluk-Nya—kehadiran cinta menyejukkan jiwa dari kegersangan. 

Karena sudah semestinya cinta memberikan kehidupan, bukan kematian. Menghampiri dengan keteduhan bukan kegelisahan. Layaknya musik yang mengalun indah, cinta pun demikian—menghempaskan kesedihan dan menggantinya dengan kebahagiaan tak bertepi. Kehadiran cinta tak berbatas ruang dan waktu, maka tak akan ada yang luput dari jangkauannya—menuntun jiwa agar tak tersesat dalam labirin suram kehidupan. 

Maujud Tuhan paling nyata ada pada cinta. Cinta yang tak dilebih-lebihkan, sebab jatuh cinta itu biasa saja. Tak semestinya dipelintir dalam berbagai drama-drama yang kosong makna. Cinta bukan seperti yang direkayasa pada sinetron-sinetron di televisi—cinta bukan tontonan. Cinta bukan ini dan itu. Ia adalah sesuatu yang tak terdefinisi, berusaha mendefinisikannya akan mengantarkan pada kekeliruan pikir. 

Cinta adalah cinta. Keberadaanya ada di mana-mana dan bisa menghampiri kapan saja. Ketika ada yang tak percaya, aku tak peduli. Biarkan saja seperti itu, aku akan mengabai sembari memutar keras musik pada daftar playlist. Agar menggema dan tanpa sadar cinta mengalir lewat alunan lagu yang terdendangkan: Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. 

*** 

*Dimuat di Qureta pada tanggal 20 Februari 2019
https://www.qureta.com/post/jatuh-cinta-biasa-saja


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate

Flag Counter

Total Tayangan Halaman