Selamat membaca dan semoga memberi manfaat!

Jumat, 24 April 2020

Resensi Kemolekan Landak




Judul: Kemolekan Landak

Pengarang: Muriel Barbery

Penerjemah: Jean Coteau dan Laddy Lesmana

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit: 2017


Kemolekan Landak merupakan novel yang mengangkat tema filsafat, kesadaran kelas, dan konflik pribadi. Muriel Barbery meramu kata-kata dengan apik dalam novel ini. Dia menggunakan kalimat pembuka yang menyentak dan disertai banyak kejutan setelahnya – satire dan sarkasme yang membuat kita tersenyum bahkan tertawa. 

Membaca Novel ini, kita akan diantarkan pada tiga karakter kuat yang memiliki kecerdasan tinggi. Tokoh-tokoh itu bernama Renee, Paloma, dan Ozu. Saya akan memaparkan suara-suara ketiga tokoh itu melalui resensi ini dan hal-hal yang bisa kita pelajari dari mereka bertiga. 

Novel ini dibuka dengan kalimat “Marx mengubah total pandanganku atas dunia.” Kalimat yang dikatakan oleh salah satu anak majikan Renee. Kalimat yang kemudian dia respons dengan berkata “Baca dulu Ideologi Jerman”. Kata-kata yang ia sesali karena berpotensi membongkar kedoknya sebagai orang cerdas. Menurut Renee untuk memahami gagasan Marx, mesti membaca Ideologi Jerman terlebih dahulu sebelum buku-buku lainnya. Itu soko guru antropologis semua tulisan Marx, katanya. 

Pernyataan Renee ini sebenarnya memberikan sindiran kepada orang-orang yang baru membaca sedikit karya penulis tertentu, kemudian telah merasa amat paham dengan pemikiran-pemikiran dari penulis itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menjumpai banyak yang seperti itu. Misalnya melekatkan nama Tolstoy, Murakami, Orwell, dan penulis lainnya di belakang namanya. Padahal baru membaca sedikit karya dari penulis itu atau bahkan mungkin belum sama sekali – mungkin hanya menemukan potongan kata-katanya di internet. Bikin geli, kan? 

Renee merupakan penjaga gedung yang sangat cerdas, tetapi harus menyembunyikan kecerdasannya. Sebagai penjaga gedung, jika kecerdasannya ketahuan, itu tidak akan menyenangkan orang-orang kaya di sekitarnya. Penjaga gedung yang ketahuan memahami seni, sastra, dan membaca buku Marx akan dianggap aneh, bahkan subversif. 

Hal itu yang membuat Renee harus merahasiakan kecerdasannya. Dia mesti menjaga citra dirinya seperti penjaga gedung kebanyakan. Harus terlihat bodoh. Dia pun selalu memutar televisi dengan volume keras agar terdengar dari luar. Itu bisa menjaga citranya sebagai penjaga gedung yang hanya bermalas-malasan di depan televisi. Dia harus tetap membuat orang lain meremehkan pengetahuan yang dia miliki karena status sosialnya. 

Perihal menyembunyikan kecerdasan ini, bukan hanya Renee yang melakukannya, Paloma juga. Paloma adalah siswa SMP berusia 12 tahun yang memiliki pengetahuan setingkat universitas. Dia memandang hidup itu absurd dan berencana mengakhiri hidupnya di usianya yang ke tiga belas tahun. Dengan membakar apartemen dan minum banyak pil tidur. Dia ingin menghukum orang tuanya yang memiliki kekayaan berlebih agar merasakan kesedihan orang miskin – dengan kehilangan anak dan hartanya. 

Melalui Paloma, Muriel Barbery menyindir kemunafikan orang-orang dewasa yang selalu ingin tampil bijaksana dan tegar dalam menghadapi apa pun. Namun kenyataanya, mereka sangat rapuh. Paloma juga berkata bahwa anak-anak selalu percaya pada ceramah orang dewasa dan ketika dewasa, dia pun balas dendam dengan mengibuli anak-anaknya. Perkataan Paloma itu menyajikan fakta bahwa setiap anak memercayai semua perkataan orang tuanya. Ketika beranjak dewasa, mereka menyadari banyak yang keliru dari perkataan-perkataan itu. Namun, alih-alih memutus rantai masalah itu, mereka malah melakukan hal yang sama pada anak-anaknya dan itu berlangsung terus-menerus. 

Begitulah yang terjadi bagaimana orang tua mendikte anak-anak dan menyembunyikan kenyataan hidup yang sebenarnya. Padahal kata Paloma, anak-anak mesti diberitahukan sejak dini bahwa hidup itu absurd. Mungkin akan sedikit mengurangi kesenangan masa kecil, tetapi setidaknya mereka sudah bisa mempersiapkan diri – sebelum segalanya terlambat dan kelabakan menghadapinya ketika dewasa. 

Paloma juga mengatakan bahwa usia SMP adalah masa emas bagi setiap orang untuk mencerna apa saja. Lebih baik ketimbang siswa SMA atau mahasiswa yang mulai terpengaruh efek kedewasaan dan bersiap memasuki kolamnya. Menurut Paloma, di usia mereka, jika orang dewasa menjelaskan segala sesuatu dengan baik dan dengan penuh semangat, itu mampu membuat mereka tertarik dan dapat memahaminya. Pada bagian ini, Paloma menyindir kebiasaan orang dewasa yang meremehkan anak-anak – dengan membatasi informasi-informasi yang seharusnya bisa segera mereka pelajari. 

Selain itu, Paloma mengkritisi cara mengajar gurunya yang monoton dan tidak substantif. Menurutnya, mereka diajarkan sastra tanpa sastra dan bahasa tanpa kecerdasan bahasa. Di dalam dunia nyata, kita menjumpai banyak hal yang seperti ini. Banyak guru yang tidak paham materi yang mereka ajarkan, bahkan ada yang tidak tahu mengajar sama sekali, tetapi justru menjadi guru. Itulah mengapa pendidikan kita sebegitu bobroknya. Bukan hanya sistemnya yang bermasalah, tenaga pengajarnya juga. 

Selanjutnya, Ozu datang sebagai orang dewasa dan orang kaya yang berbeda dengan kebanyakan orang kaya dan orang dewasa – yang angkuh dan bebal. Ozu adalah karakter orang yang tidak menilai orang lain dari status sosial dan usianya. Dia tipe orang yang berfokus pada apa yang disampaikan, bukan orang yang menyampaikan. Sesuatu yang sulit dijumpai dalam kehidupan kita yang senantiasa meremehkan orang yang tidak berpunya dan masih anak-anak. Perlakuan yang berbeda ketika berhadapan dengan orang kaya dan punya modal sosial lainnya. Seburuk apa pun gagasannya akan dianggap brilian. 

Renee diremehkan oleh orang sekitarnya karena dia miskin. Dianggap sebagai penjaga gedung yang bodoh. Bagi orang kaya, semua orang miskin itu tidak akan mampu mengakses kemewahan pengetahuan. Paloma juga tidak dipertimbangkan gagasannya oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya karena dianggap anak-anak. Superioritas orang-orang dewasa memang membuat mereka meremehkan kecerdasan anak kecil. Istilah untuk ini disebut ageisme. Diskriminasi terhadap orang lain karena usianya, biasanya ditujukan kepada anak-anak. 

Berbeda dengan Ozu, dia memosisikan dirinya sama dengan Renee. Itu yang membuat mereka bertiga akhirnya berteman. Memiliki kesamaan jiwa. Pertemuan pertama Ozu dan Renee ketika hari pertama Ozu pindah ke gedung apartemen yang dijaga oleh Renee. Pertemuan yang amat berkesan. Ketika Renee merespons perkataan salah satu majikannya dengan berkata “semua keluarga bahagia” terus disambung oleh Ozu dengan berkata “tetapi semua keluarga tidak bahagia tidak sama dengan yang lainnya”. 

Percakapan singkat itu membuat Renee tersentak. Kalimat itu adalah kalimat pembuka dari novel Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina. Sastrawan rusia yang sangat disenangi oleh Renee. Makanya Renee menamai kucingnya Leo. Kucing yang tiba-tiba keluar bergelayut manja di kaki Ozu dan Ozu pun menanyakan nama kucing itu – yang dijawab oleh majikannya Renee dengan berkata Leo. Maka terbongkarlah identitas Renee di hadapan Ozu. 

Ozu menyadari bahwa Renee adalah orang yang cerdas. Memiliki selera yang sama dengan dirinya. Maka ketika bertemu dengan Paloma secara tidak sengaja di lift, mereka pun berbincang-bincang dan membahas Renee. Paloma juga sudah lama menaruh kecurigaan pada Renee karena pernah mendapati Renee menjatuhkan rak belanjaanya yang di dalamnya terdapat buku terbitan Vinn. Buku yang biasanya hanya dibaca oleh orang-orang cerdas. Mereka pun bersepakat ingin mencari tahu bersama. Ozu sengaja mengirimkan paket ke Renee yang berisi buku Anna Karenina yang kemudian menjadi awal pertemanan dekat mereka. 

Pada hari berikutnya, tibalah pertemuan Renee dengan Paloma. Paloma diminta kakaknya datang untuk mengambil paketnya di bilik Renee. Paloma datang menemui Renee dan menyukai cara Renee memperlakukannya. Renee memperlakukan dirinya setara dengan Paloma. Bagi Renee mengubah nada bicara dengan melembut-lembutkannya pada anak kecil adalah pelecehan. Itu yang membuat Paloma menyenangi Renee. Dia merasa tidak diremehkan. Obrolan yang kemudian menjadi awal pertemanan mereka pula. 

Hari-hari selanjutnya Ozu, Renee, dan Paloma sering mengobrol tentang banyak hal. Mereka menjadi sangat akrab. Renee bahkan sudah menganggap Paloma sebagai anaknya. Paloma menganggap Renee sebagai kembaran jiwanya. Ozu yang akhirnya menyukai Renee. Mereka saling suka. Pada suatu acara makan malam, Ozu berkata begini kepada Renee “Kita bisa berteman. Atau apa pun yang kita inginkan.” Perkataan itu membuat mereka semakin intim. 

Dalam novel ini juga, ada bagian Renee menyindir orang-orang yang berkutat pada hal-hal yang tidak berguna – mengorbankan banyak tenaga untuk mencari sesuatu yang tidak ada atau menggeluti pemikiran absurd. Terutama orang-orang yang menghasilkan karya yang tidak bermanfaat. Menurut Renee dalam berkarya harusnya hanya satu yang dipegang: tujuan. Apakah tujuan itu untuk meningkatkan pemikiran dan membela kepentingan bersama atau justru sebaliknya. Hal seperti itu yang dilupakan oleh banyak penulis, terutama penulis-penulis populer saat ini. Juga oleh mahasiswa yang membuat skripsi, tesis, atau disertasi – sekadar untuk memperoleh gelar dan janji kemewahan status sosial yang menyertainya. 

Dari perbincangan-perbincangan Ozu dan Renee, kita diantarkan pada keindahan seni: lukis dan musik. Hal yang menarik ketika Ozu berkata bahwa mencintai alam membuat kita menyadari betapa kita begitu tidak bermanfaat dan menjadi parasit dipermukaan bumi. Keserakahan yang tidak pernah terpuaskan yang menyebabkan itu. Jika ingin jujur, manusia memang tidak memiliki manfaat sama sekali, setiap dari kita menyumbang kerusakan besar terhadap bumi. 

Membaca Novel ini, kita mendapatkan banyak hal. Ada banyak kritikan yang disampaikan Muriel melalui tokoh Renee, Paloma, dan Ozu. Melalui Renee, Muriel juga mengkritik psikoanalisis Freud dan fenomenologi Husselr. Perihal itu kalian bisa membacanya sendiri. Sementara melalui Paloma, Muriel juga menyindir orang-orang yang meremehkan keindahan tata bahasa. Dalam novel ini, tata bahasa menjadi salah satu pusat perhatian. Kita bisa sambil belajar kebahasaan dari novel ini. 

Selain itu, bagi pecinta manga atau anime Hikaru no Go pasti menyukai bahasan Paloma tentang itu. Filosofi permainan Go sangat bagus: untuk menang tidak perlu membunuh, hanya harus hidup dan membiarkan lawan juga tetap hidup. Kemenangan hanyalah konsekuensi atas kelihaian kita lebih banyak menguasai area. Ini bagus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bahwa untuk maju, tidak perlu dengan menjatuhkan orang lain – hanya perlu menjadi lebih menonjol lagi. 

Lalu pada bagian Ozu, kita bisa belajar menjadi orang yang begitu ramah dan tulus. Memperlakukan setiap orang setara dengan kita. Kemudian bagi mereka yang selalu menilai bahwa laki-laki selalu mengutamakan kecantikan, bukan hanya kecerdasan – bisa menyelami karakter Ozu dalam novel ini. Bagi saya, kecerdasan lebih dari cukup di atas segalanya. Jika Renee menganggap kecerdasan sebagai satu-satunya senjata umat manusia, saya memandangnya sebagai sesuatu yang paling memikat dari umat manusia. 

Ketika membaca novel ini, saya sering dibuat senyum-senyum, tertawa, dan berdecak kagum. Menyelami setiap ramuan kata-kata Muriel juga membuat saya membayangkan diri sebagai Ozu, Renee sebagai kekasih, dan Paloma sebagai anak saya. Saya memimpikan pasangan dan anak yang cerdas seperti Renee dan Paloma. Jika tertarik merasakan efek seperti saya, bahkan lebih dari saya, silakan baca sendiri novel ini. Ada banyak hal yang bisa kalian temukan sendiri, dari sekadar membaca ulasan saya.


*Buku ini bisa kalian dapatkan di instagram @pustakamerahitam.

Kamis, 25 April 2019

Saya Memang Mencintaimu. Namun, Kau Bukan Segalanya!

”Akal adalah akar dari kebahagiaan!”

Kalimat di atas adalah kutipan dari perkataan Larrain. Saya menyetujuinya. Sangat menyepakatinya. Saya pun menanamkan itu di dalam diri saya. Tujuannya sederhana agar saya menjadi pengendali atas kebahagiaan saya. Agar saya menjadi pengendali atas pikiran dan perasaan saya. 

Saya pernah menjadi sebodoh-bodohnya manusia. Takluk pada perasaan. Nalar saya menjadi tumpul. Saya pun ditipu sedemikian rupa oleh perempuan yang saya cintai. Oleh perempuan yang selama ini saya kira jodoh saya. Perempuan yang mengibuli saya dengan berkata: “Jangan khawatir, Daeng. Tidak ada laki-laki lain. Hanya kamu yang ada dalam doa-doa saya.” 

Bagi teman-teman saya, perempuan itu amat keterlaluan. Tadinya, saya juga menganggap dia demikian. Betapa tidak – dia menggunakan tangisannya untuk memanipulasi saya. Dia tahu betapa besar saya mencintainya. Waktu itu, saya bahkan lebih mencintai dia ketimbang diri saya. Dia pun memanfaatkan kenyataan itu untuk memperdayai saya. 

Ketika mengetahui kebohongannya, rasa cinta saya seketika berganti wajah menjadi benci dan dendam. Saya mengutuknya. Menyerapahi dia sepuasnya. Saya menghidupi kedua penyakit hati itu di dalam dada saya. Berbulan-bulan. 

Saya baru berhenti merawat rasa dendam dan benci itu ketika kau dan perempuan yang saya anggap adik membuka mata saya. Bahwa masih ada perempuan yang bisa saya percayai. Saya menemukan harapan itu di kedalaman matamu. Juga senyum yang menyungging di bibirmu. 

Kehadiranmu membuat saya sadar bahwa selama ini saya membenci dan mendendam karena ketiadaan cinta dalam hati saya. Setelah kau berhasil membuat saya jatuh cinta lagi, rasa benci dan dendam itu pun perlahan sirna. Saya dilingkupi perasaan cinta terhadapmu. 

Saya tidak memungkiri bahwa saya benar-benar merasa nyaman dengan adanya dirimu di sekitar ruang hidup saya. Saya merasa lebih hidup lagi. Kamu seperti oasis di tengah gurun kesedihan saya. Semoga saja kamu bukan fatamorgana. 

*** 
Saya kaget membaca pesanmu. Saya baru saja sampai di kosan setelah dari mengantarmu. Tiba-tiba kamu mengirim pesan yang membuat dahi saya berkerut. Saya amat kesal membacanya. Tadi kita baik-baik saja, saling bercanda – kini, tiba-tiba kamu meminta maaf karena ingin pamit dari saya. 

Kamu ingin menjauh dari saya karena katamu sedang dekat dengan seseorang. Sebagai bentuk penghargaanmu terhadap dia, kamu ingin membatasi pergaulan. Terutama pada saya karena sempat membuatmu merasa nyaman. Kamu mengaku masih labil dan merasa kebingungan dengan perasaanmu. Saya kamu bilangi terlalu baik kepada lawan jenis sehingga gampang membuat orang lain nyaman. 


Kamu ingin berhenti dari semua ini. Dengan laki-laki yang telah kamu kenal selama delapan tahun. Dengan si A, si B, dan si C. Kamu takut semakin labil dan bingung dengan perasaanmu. Sehingga kamu merasa perlu pamit dari semuanya, termasuk kepada saya. 

Saya kurang mengerti maksud perkataanmu. Saya juga heran dengan pengakuanmu yang dekat dengan banyak orang. Apakah segitu mudahnya hatimu merasa nyaman pada banyak laki-laki? Rasa trauma saya terhadap hati perempuan yang gampang berubah, tiba-tiba tersentil. 

Perasaan yang belakangan ini tumbuh di dada saya untukmu, seketika layu. Hati saya merasa hambar membaca pesanmu. Tidak ada lagi debar-debar dan rasa senang. Hati saya merasa terusir sebelum sempat benar-benar bertamu di hatimu. 

Saya pun membalas pesanmu dengan mengatakan bahwa saya tidak pernah memaksakan sesuatu pada orang lain. Terutama memaksa berkomunikasi. Tidak usah merasa tidak enak dengan saya. Jika itu menurutmu yang terbaik. Yah, silakan. 

Kamu merespons pesan balasan saya dengan mengatakan bahwa kamu takut rasamu semakin timbul dan bingung mesti berbuat apa. 

Saya membalas pesanmu lagi dengan menegaskan bahwa jika dengan memiliki perasaan kepada saya membuat kamu merasa tidak nyaman. Sederhana, kamu tidak perlu menjauh. Saya yang akan menjauh. Kemudian saya mengucapkan terima kasih untuk kebersamaan malam ini dan yang kemarin-kemarin. Lalu mengucapkan salam sebagai tanda ucapan perpisahan saya. 

Kamu pun merespons pesan saya dengan perkataan-perkataan yang membuat saya risih. Kamu bilang saya baik sekali. Kemudian mengucapkan kata-kata yang sama lagi – bahwa kamu takut nyaman dan bingung mau jawab apa. Benar kata Milan Kundera bahwa semakin sesuatu berulang, semakin ia kehilangan makna. Begitu pun dengan kata-katamu itu. 

Kamu juga menelepon berulang kali. Kamu meminta saya mengangkatnya. Ada yang ingin kamu jelaskan katamu. Saya tidak mau mengangkat teleponmu. Saya tahu kamu hanya akan membicarakan sesuatu yang membuat saya kesal nantinya. 

Lalu kamu mengirim pesan beruntun. Kamu bilang tidak menyuruh saya menjauh. Kamu hanya bingung karena saya mulai jarang muncul dan kamu justru mencari saya. Di satu sisi kamu merasa tidak enak dengan laki-laki yang duluan hadir dari saya. Kamu takut tidak setia. 

Kamu juga ingin berfokus dengan tujuan hijrahmu. Kamu tidak ingin terus-terusan memikirkan cinta-cintaan. Kamu pusing karena itu. Apalagi akan ada yang datang melamarmu dalam waktu dekat. Itu yang membuatmu merasa perlu menjauhi semua laki-laki yang sedang dekat denganmu. Kamu takut menjadi perempuan jahat yang memberikan harapan kepada orang lain – yang ujung-ujunganya bisa kamu sakiti. 

Saya sebenarnya amat malas membalas pesanmu. Saya memang seperti ini. Enggan melayani orang yang ingin pergi. Apalagi menahannya. Namun, sahabat saya meminta saya bersabar merespons pesan-pesanmu – demi meniadakan prasangka-prasangkamu terhadap saya. 

Saya pun menyampaikan kepadamu bahwa saya tidak pernah berharap lebih. Makanya kemarin-kemarin saya mengakui kesalahan saya yang sempat menyatakan perasaan. Sebab, itulah yang memunculkan banyak prasangka. Termasuk prangsakamu ini. 

Padahal setelah menyatakan perasaan, saya tidak pernah meminta hubungan khusus. Saya berusaha bersikap seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Saya tidak ingin menuntut apa-apa atas perasaan saya. Ingin dianggap teman atau kakak – yah, terserah! 

Makanya, saya menyampaikan kepadamu bahwa saya memang mencintaimu. Namun, kau bukan segalanya. Jadi tidak perlu khawatir. Apalagi saya menyepakati perkataan Erich Fromm bahwa cinta itu perihal memberi bukan menerima. Saya belajar mencintai seperti itu. Mencintai tanpa pamrih. Seperti cinta orang tua kepada anak-anaknya. Anggap saja, ini adalah persiapan saya untuk menjadi ayah yang keren bagi anak-anak saya kelak. 

*** 
Besoknya, kamu mengirim pesan beruntun lagi. Dengan kata-kata yang tidak terlalu berbeda dengan yang kamu kirim sebelumnya. Kamu bilang saya laki-laki yang baik sekali. Gampang membuat orang lain nyaman. Kamu pusing dengan perasaanmu, takut dibenci oleh saya, dan sebagainya. 

Membaca pesan-pesanmu itu seperti saya membaca tulisan di pembungkus rokok – merokok membunuhmu – tidak bermakna. Kamu mengatakan banyak hal, tetapi seperti tidak mengatakan apa-apa. Kamu juga mengatakan ingin saya tetap ada dan tidak ingin saya berubah. Kata-katamu membuat dahi saya semakin berkerut dan semakin tidak mengerti jalan pikiranmu. 

Lalu kamu mengirim pesan lagi yang meminta saya untuk tidak marah. Saya pun meresponsnya dengan menanyakan apa alasan saya untuk marah. Kamu hanya mengirim emoji menangis. Setelah itu, kamu menelepon saya. Saya mengangkatnya agar kamu bisa menyampaikan segala hal yang perlu kamu sampaikan. 

Saya mendengar celotehmu dengan sabar. Kamu bercerita sambil terisak. Saya pun memintamu mengubah panggilan suara menjadi panggilan telepon. Saya amat lemah dengan tangisan perempuan. Makanya saya ingin membuatmu tertawa dengan memperlihatkan ekspresi saya. 

Kamu menangis karena ternyata benar-benar bingung dengan perasaanmu. Kamu akan dilamar oleh sepupumu, tetapi tidak tahu cara menolaknya. Kamu juga bingung dengan perasaanmu terhadap lelaki yang kamu kenal delapan tahun itu. Juga bingung dengan perasaanmu kepada saya. Mendengar itu saya hanya bisa tertawa. 

Kemudian saya membercandaimu dengan berkata bahwa mereka menjadi alasanmu menangis sedangkan saya menjadi alasanmu tertawa. Maka kamu bisa memilih ingin selalu menangis atau selalu tertawa. Kamu pun tertawa mendengar perkataan saya itu. 

Padahal jika kamu berusaha sedikit kritis dengan perkataan saya. Kamu akan sadar bahwa seperti selalu menangis, selalu bahagia juga buruk. Tidak ada yang paling menjenuhkan dari sesuatu yang berjalan monoton. Makanya perlu ada kesedihan agar kebahagiaan menjadi sesuatu yang amat berharga. Kita tidak pernah bisa benar-benar paham arti bahagia tanpa sesekali merasakan sedih. 

Obrolan kita membuat saya menyadari bahwa kamu memang sedikit bodoh. Itu yang membuat saya amat geregetan sama kamu. Saya merasa ingin melindungimu. Saya merasa ingin membimbingmu. Sederhananya, kamu bodoh tetapi saya suka. Saya cinta. Tentunya, saya tidak akan menjadikanmu segalanya. 

Oiya, Bodoh! Dengan siapa pun kamu nanti. Bahagia dan bersedihlah sekadarnya. 

*** 
Ketika kamu membaca ini, mungkin saya masih mencintaimu atau mungkin saya telah mencintai orang lain atau justru saya tidak sedang mencintai siapa-siapa – selain Allah, keluarga, dan impian-impian saya. 

Rabu, 24 April 2019

Adakah Alasan Bagi Saya Untuk Meratapi Perempuan Itu?

Tidak ada yang paling menjemukan dituding melakukan sesuatu yang tidak kamu lakukan atau dituduh merasakan sesuatu yang tidak kamu rasakan. Demikianlah yang saya alami sekarang. Orang-orang di sekitar saya masih kerap menuding atau menuduh saya belum move on dari masa lalu. 


Barangkali mereka menemukan kesenangan di situ. Atau barangkali mereka gunakan itu untuk menghibur dirinya sendiri. Acap kali seseorang menuduh orang lain dengan sesuatu yang dia rasakan – dia membicarakan dirinya sendiri dengan menjadikan orang lain sebagai subjeknya. Banyak orang yang seperti itu. 


Karena hal itulah, saya merasa perlu menulis ini. Jika setelah menulis ini, saya masih dituding demikian. Saya tidak peduli. Terserah mereka saja! 

Saya akan memulai tulisan ini dengan menceritakan diri saya sebelum bertemu perempuan itu. Anggap saja namanya Mawar. Saya pikir itu tepat untuk menggambarkan sosoknya yang indah. Namun berduri. #Jleeepp! 


Sewaktu awal-awal menjadi mahasiswa, saya berpacaran dengan teman seangkatan. Hubungan kami tidak sehat. Saling memenjarakan dengan mengalasankan cinta dan cemburu. Hubungan kami pun putus-nyambung. Tentu pertengkaran senantiasa mewarnainya. Meskipun begitu, saya amat mencintainya – waktu itu. 



Sepuluh bulan pacaran, saya mengetahui ketidakjujurannya. Ternyata dia memiliki pacar di kampungnya. Dia sudah jalan dua tahunan. Saya selama ini adalah selingkuhan. Saya pun mengakhiri hubungan dan patah hati untuk yang pertama kali. Untuk menyembuhkannya, saya menyibukkan diri dengan banyak melakukan kegiataan bermanfaat: aktif dalam organisasi dan membenahi isi kepala dengan banyak membaca. 



Awalnya saya aktif dalam lima organisasi. Belakangan fokus pada satu organisasi saja. Organisasi yang saya fokusi adalah yang memantik saya untuk selalu betah bertualang di belantara kata dan rimba pikiran. Berada di sekeliling pembaca, memicu saya banyak membaca pula. 



Jika sewaktu SMA saya banyak membaca buku-buku motivasi dan novel-novel Andrea Hirata. Ketika kuliah saya pun berkenalan dengan pemikiran Fahd Djibran. Saya suka pemikirannya yang mengkritisi orang-orang yang selalu mengambinghitamkan setan atas dosa-dosa yang mereka lakukan. Berkat dia, saya menyukai tulisan yang memuat kritikan. 



Pikiran saya pun berlanjut berkenalan dengan karya-karya Okky Madasari, Ayu Utami, Rama Wirawan, Ahmad Tohari, Seno Gumira, Yusi Alvianto, dan Eka kurniawan. Dua nama terakhir adalah penulis Indonesia yang karyanya paling saya gandrungi belakangan ini. Kemudian beberapa teman mengenalkan saya dengan gagasan Albert Camus, Paulo Coelho, Jostein Gaarder, Leo Tolstoy, George Orwell, Dostoyebsky, Haruki Murakami, Yukio Mishima, Ernest Hemingway, Franz Kafka, Oscar Wilde, dan Milan Kundera. Dua nama terakhir yang kemudian menjadi penulis luar favorit saya. 

Selain membaca novel-novel dari penulis-penulis di atas, saya juga meluangkan waktu membaca gagasan Erich Fromm, Ivan Illich, Larry Gonick, Richard Dawkins, Friedrich Nietzche, Benedict Anderson, Jean Sartre, Paulo Freire, Alexander Sutherland Neil, Mikhail Bakunin, Alexander Berkman, Noam Chomsky, Yuval Noah Harari, dan beberapa penulis lainnya. Namun berbeda ketika membaca novel, kebanyakan dari buku-buku penulis nonfiksi tersebut – tidak saya tuntasi. Membaca bagian-bagian tertentu saja. Itu kebiasaan buruk yang masih muskil saya ubah. 

Berkat membaca karya-karya penulis di atas, seperti kebanyakan mahasiswa – saya pun mulai pamer bacaan. Mulai di ruang-ruang kelas, maupun di luar kelas. Bersama teman-teman saya, kami sengaja menghadiri kegiatan diskusi untuk membabat habis pematerinya. Itulah yang memotivasi kami untuk selalu membenahi bacaan – agar bisa selalu mendominasi pembicaraan. 

Empat tahun belakangan ini, kami tidak seperti itu lagi. Kami sadar itu sesuatu yang keliru. Kami berusaha belajar ramah pada pluralitas berpikir. Kami pun belajar banyak mendengar dan belajar cuek dengan pemikiran orang lain – yang menurut kami amat picik. Kami sadar, jika mendebatinya hanya akan buang-buang waktu dan tenaga. Saya sendiri lebih fokus untuk menuliskannya saja, ketimbang mendebati orang yang bersangkutan – kecuali jika dia meminta pendapat saya. 

Sebelum sampai pada kesadaran itu, saya dan teman-teman menggunakan bacaan untuk memanipulasi perempuan. Biasanya mahasiswi baru. Kami paham betul bahwa perempuan begitu senang dengan laki-laki yang pandai bicara. Laki-laki yang terlihat cerdas dan bisa mereka andalkan. Kami pun menggunakan retorika sebagai senjata utama kami. Kami selalu berhasil memacari perempuan yang benar-benar kami mau. 

Beberapa teman saya sampai sekarang masih ada yang demikian. Sementara saya berhenti sejak berkenalan dengan Mawar. Mawar membuat saya memutuskan berhenti bertualang dengan banyak perempuan. Kemudian fokus dengan dirinya. Selain itu, dia juga membuat saya kembali memercayai keberadaan Tuhan yang telah lama saya ragukan semenjak berkenalan dengan gagasan Larry Gonick dan Richard Dawkins. 

Ketika berkenalan dengan Mawar pula, saya mulai tertarik dengan gagasan feminisme. Saya mulai berkenalan dengan Simone de Beavoir, Emma Goldman, Sylvia Walby, Virginia Woolf, Mansour Fakih, dan penulis lainnya. Saya menertawai diri saya yang dulu – yang amat misoginis: seksis dan patriarkis. Untuk semakin menyelamatkan saya dari kedangkalan pikiran tersebut, saya pun menjadikan ideologi patriarki sebagai fokus kajian skripsi. 

Saya membenahi pemikiran dengan didampingi Mawar. Kami bersepakat mencipta keluarga bahagia yang setara dan literatif nantinya. Di rumah harus ada perpustakaan. Televisi hanya untuk memutar video-video edukatif. Rumah harus memiliki pekarangan untuk berkebun bersama anak-anak. Kita akan memelihara kucing dan rencana-rencana lainnya. 

Untuk menghidupi impian-impian itu, selain mengajar, kami juga membangun usaha bersama – dengan menjual jilbab, gamis, dan perlengkapan muslimah lainnya. Kami ikut berpartisipasi dalam Pasar Sabtu. Pasar swakelola yang digagas bersama oleh teman-teman. Sebuah wadah ekonomi alternatif yang dikelola bersama secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah. 

Setelah meraih gelar sarjana, orang tua Mawar menginginkan kami segera menikah. Saya pun membawa Mawar ke rumah untuk bertemu orang tua. Kemudian saya menyampaikan keinginan pada orang tua untuk dinikahkan. Kedua orang tua saya tidak setuju jika saya menikahi Mawar karena berbeda suku dengan kami. Rasialisme di kampung saya memang masih kental. 

Saya pun membujuk Mamak saya dengan mengatakan bahwa kebaikan seseorang itu bukan dilihat dari sukunya. Setiap suku berpotensi menjadi jahat atau baik. Tidak semua suku Bugis itu baik dan tidak semua suku Makassar itu jahat. Begitu pun sebaliknya. Insyaallah, Mawar akan jadi menantu yang baik buat Mamak dan Bapak. 

Mendengar bujukan saya, Mamak kemudian bilang bahwa Bapak ingin saya melanjutkan studi dahulu dan menjadi dosen. Mamak pun menyarankan saya untuk menuruti keinginan Bapak. Setelah selesai, Mamak akan membantu saya membujuk Bapak. Saya pun menyetujui dengan syarat Mamak datang menemui Mama Mawar untuk memintanya bersabar menunggu saya menyelesaikan S-2 dan menjadi dosen. Mamak menyanggupinya. 

Saya dan Mamak pun ke rumah Mawar menyampaikan kondisi saya yang harus lanjut S-2 dan jadi dosen dahulu. Mama Mawar memaklumi dan mengatakan semuanya bergantung anak-anak nantinya. Saya dan Mawar senang. Mawar juga punya impian ingin kerja di Aussie untuk kumpulkan modal bagi usaha-usaha kami. Kami ingin membuat kafe baca dan bimbingan belajar. Itu butuh modal banyak. Makanya dia memutuskan pergi kerja ke Aussie. 

Saya mempersiapkan diri mengikuti tes masuk di UPI Bandung sedangkan Mawar belajar Ielts untuk persiapan ke Aussie. Setelah diterima kuliah di UPI, kami pun mulai menjalani LDR. Setiap saat kerinduan membuncah di hati kami. Saling kirim pesan dan video call­-an tidak cukup ampuh menawarkan kerinduan kami. Rindu benar-benar menikam kami setiap harinya. 

Kami saling menguatkan diri bahwa LDR ini tidak akan berlangsung lama. Hanya dua tahunan. Kami harus kuat demi impian-impian kami di masa depan. Kami selalu saling mendoakan berharap orang tua saya mengubah hatinya untuk segera menikahkan kami. Doa itu terus kami panjatkan. 

Beberapa bulan saya kuliah di Bandung, Mawar pun akhirnya akan berangkat ke Aussie. Sebelum berangkat, dia datang mengunjungi saya ke Bandung. Dia ingin bertemu saya dahulu sebelum ke Aussie. Dia tinggal semingguan. Kami memanfaatkan itu untuk mengunjungi tempat wisata di Bandung. Bersama teman-teman kelas saya, kami mengunjungi Tangkuban Perahu, Floating Market, Punclut, dan beberapa tempat lainnya. 

Subuh ketika akan pulang ke Makassar, dia memeluk saya dengan sangat erat. Seolah-olah itu akan jadi pelukan terakhir. Barangkali karena kami sama-sama menyadari bahwa pertemuan kami berikutnya akan berlangsung sangat lama. 

*** 

Dua bulan kemudian, Mawar berangkat ke Aussie. Teryata, setiba di sana, keadaan pekerjaan tidak sesuai ekspektasinya. Dia begitu sulit mendapatkan pekerjaan karena mengenakan jilbab. Sementara sewa apartemen amat mahal. Saya meminta dia bersabar, tetap berdoa, dan berusaha. Saya mengucapkan maaf kepadanya karena tidak bisa membantunya – selain berdoa dan menyemangatinya. 

Setelah menyebar lamaran di berbagai tempat, dia diterima bekerja sebagai housekeeping di hotel dan kasir di swalayan. Namun, setelah bekerja beberapa bulan, dia mengeluh karena gajinya hampir tidak cukup menutupi biaya hidupnya. Dia merasa sangat kewalahan. Apalagi katanya, teman-teman di sana hanya fokus dengan urusan masing-masing. Tidak ada yang saling membantu. 

Mendengar pengakuannya itu, saya pun menghubungi teman-teman saya di sana untuk membantu dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Ketika menghubungi teman saya, saya justru mendapat kabar tentang dia yang sedang dekat dengan laki-laki. Saya pun menanyakan itu kepadanya, dia tiba-tiba menangis karena merasa dizalimi oleh teman-teman saya. 

Dia tiba-tiba curhat bahwa teman-teman saya memperlakukannya tidak baik. Bahwa dia dikucilkan. Dia tidak tahu apa kesalahannya sehingga diperlakukan demikian. Dia merasa semakin sakit hati karena difitnah dengan keji. Dia mengatakan itu dengan terisak-isak. 

Saya pun menghubungi teman saya lagi agar mereka tidak memperlakukan Mawar dengan buruk. Teman-teman saya mengatakan bahwa mereka tidak seperti itu. Mawar memang dihindari oleh beberapa teman di sana karena ketahuan suka mengadu domba orang lain. Mendengar itu, saya menjadi bingung. Namun, saya cenderung lebih memercayai Mawar. 

Sejak kejadian itu, Mawar begitu sulit dihubungi. Media sosialnya jarang aktif. Pesan WhatsApp saya kerap tidak terkirim. Ketika pesan saya terkirim, saya pun menanyakan mengapa dia amat sukar dihubungi. Dia mengaku handphone-nya sedang bermasalah. 

*** 

Beberapa hari kemudian, saya teleponan dengan Mawar. Dia mengatakan bahwa sedang didesak mamanya untuk segera menikah. Dia mengatakan itu dengan menangis terisak-isak. 

Saya pun menelepon Mama Mawar untuk memastikan itu. Mamanya mengakui bahwa sejauh ini dia menolak lamaran dari tiga laki-laki karena saya. Kali ini, dia harus menerimanya. Apalagi katanya saya belum bisa segera datang melamar. Kemudian, mamanya juga mengatakan bahwa dulu sewaktu Mamak saya datang ke rumahnya, dia belum menyetujui permintaan Mamak saya untuk menyimpan Mawar untuk saya. Mendengar itu, kepala dan dada saya seperti dihantam keras. 

Lalu saya mengatakan ke mamaknya, tidak adakah kesempatan saya lagi untuk datang, Ma? Insyaallah, saya akan membujuk orang tua saya untuk segera datang melamar setelah saya wisuda. Saya bisa menyampaikan kepada orang tua akan menjadi dosen atau mencari pekerjaan lainnya setelah menikah. Mamanya kemudian mengatakan bahwa keluarga besarnya telah mendesak Mawar untuk segera dinikahkan tahun ini. Saya pun hanya bisa terdiam. Kemudian Mama Mawar ingin mematikan telepon karena ada yang ingin dikerjakan. 

Kemudian saya menghubungi Mawar dan menyampaikan hal itu. Dia semakin menangis dan meminta waktu untuk berpikir. Dia butuh waktu menenangkan diri katanya. 

Dua hari kemudian, dia menghubungi saya. Katanya, mamanya meminta dia memilih saya atau mengikuti kemauan mamanya. Dengan berat hati, dia memilih untuk tidak memilih dari kedua pilihan tersebut. Dia tidak ingin menyakiti mamanya yang telah melahirkan dan merawatnya hingga besar. Dia juga tidak ingin menyakiti perasaan saya yang selama ini telah menemaninya selama empat tahunan lebih. Hubungan kami pun berakhir dan dia juga tidak jadi dinikahkan. 

Karena alasannya memutuskan hubungan seperti itu, saya justru semakin mencintainya. Saya merasa dia semakin bijak. Dia mengambil jalan tengah yang tidak menyakiti saya dan mamanya. Saya juga tidak ingin dia lebih memilih saya karena itu hanya akan membuat mamanya sakit hati -- kemudian tidak senang dengan saya.

Hubungan kami berakhir tanpa saya merasa tersakiti. Karena itulah saya masih tetap betah berkomunikasi dengannya. Dia juga kerap menyampaikan kepada saya agar tidak khawatir. Dia menegaskan bahwa tidak ada laki-laki lain. Masih saya yang selalu ada di doa-doanya. Tentu, saya sangat senang mendengar perkataannya itu. 

*** 

Bulan depannya, tepatnya Mei 2018. Mawar mengabari saya bahwa laki-laki yang digosipkan dengan dia oleh teman-teman saya – menghubungi Mama Mawar dan menyampaikan keinginan untuk datang melamar. Kata Mawar, mamanya condong ingin menerima lamaran laki-laki itu. Mawar meminta saya untuk memperjuangkannya. Dia meminta saya pulang ke Makassar untuk berbicara langsung dengan mamanya. 

Sebelum mengiyakan. Saya meminta Mawar terbuka kepada saya perihal hubungannya dengan laki-laki itu. Dia mengaku tidak memiliki hubungan apa-apa. Laki-laki itu yang katanya gencar mendekatinya. Laki-laki itu yang sering menunggunya di jalan pulang kerja sehingga seolah-olah janjian jalan berdua. Saya memercayai semua perkataannya itu. 

Kemudian saya mengatakan ke dia bahwa saya akan pulang ketika hari libur semester tiba – akhir Mei. Saya berulang kali menanyakan perasaanya – apakah dia benar-benar ingin diperjuangkan? Saya menanyakan itu untuk memastikan keteguhan hatinya. Saya menyampaikan kepadanya bahwa ketika dia minta diperjuangkan, berarti dia juga harus siap berjuang – dengan teguh menolak lamaran laki-laki itu. Dia mengiyakan dan meminta saya untuk tidak mengkhawatirkan perasaannya – hatinya masih selalu sama – untuk saya. 

*** 

Pada tanggal 29 Mei 2018, saya pulang ke Makassar. Saya membawa banyak kecamuk di kepala dan di hati saya. Sepanjang perjalanan, saya memikirkan kata-kata apa yang mesti saya sampaikan kepada orang tua saya dan orang tua Mawar. 

Setiba di Makassar, saya menemui sahabat-sahabat saya dahulu. Menceritakan hal yang sedang saya alami. Mereka kaget mendengar cerita saya. Sepengetahuan mereka hubungan saya dan Mawar baik-baik saja. Sepengetahuan mereka Mama Mawar amat merestui hubungan kami. Kami sering makan bersama di rumah Mawar dan sewaktu saya berangkat ke Bandung, Mama Mawar ikut mengantar saya ke Bandara. 

Namun, semakin saya menceritakan segalanya dengan detail, sahabat saya merasa ada yang janggal. Mereka merasa ada sesuatu yang disembunyikan Mawar. Saya mengatakan kepada mereka bahwa Mawar tidak mungkin membohongi saya. Dia tidak seperti itu. 

Besoknya, saya berkunjung ke rumah Mawar. Ingin bertemu mamanya. Sesampai di sana, rumahnya sedang direnovasi. Tempatnya tidak memungkinkan untuk mengobrol. Saya memutuskan untuk menunggu rumahnya selesai direnovasi. 

Kemudian, saya pulang kampung. Selama di kampung, saya membantu Bapak di sawah dan membantu Mamak di kebun. Sembari membantu Mamak di kebun, saya menceritakan mengenai kondisi Mawar yang akan dinikahkan. Saya membujuk Mamak untuk segera menikahkan. Mamak hanya bilang, saya mesti segera selesaikan studi. Setelah itu sama-sama membujuk Bapak segera menikahkan saya. 

Seperti kebanyakan keluarga Bugis, keluarga saya juga patriarkis. Segala keputusan itu mutlak berada di tangan Bapak. Saya tidak bisa membujuk Bapak karena saya amat tahu karakternya. Beliau tidak akan berkompromi mengadakan sesuatu, ketika sesuatu yang lebih dahulu dilakukan, belum selesai. Makanya nilai tawar saya hanya ada ketika saya menyelesaikan studi. 

*** 

Dua minggu kemudian saya kembali ke Makassar. Saya berkunjung lagi ke rumah Mawar. Rumahnya masih direnovasi. Saya hanya mengobrol dengan adik-adik Mawar. Mamanya sedang mengunjungi keluarga di Parangloe. Saya pun memutuskan sekalian menunggu Mawar kembali saja – Agustus dia ingin pulang mengurus berkas untuk kuliah di Aussie. Jadi, sekalian saya dan dia bisa sama-sama bicara dengan mamanya secara langsung. 

Untuk mengisi waktu luang selama menunggu Mawar kembali, saya mengajak teman-teman membuka lapak baca di Lapangan Syech Yusuf. Tujuannya sederhana, untuk membumikan literasi -- juga untuk menunjukkan bahwa untuk membaca buku bagus tidak melulu harus mengeluarkan duit. Kami kemudian mengajak komunitas-komunitas literasi yang lain untuk berkolaborasi. Agar bisa mengadakan lebih banyak kegiatan kreatif yang diakses secara gratis. 

Setelah berjalan beberapa hari, Lapangan Syech Yusuf ditutup karena sedang direnovasi. Kami pun pindah melapak ke Taman Sultan Hasanuddin dan berjalan rutin di sana. Selain lapak baca, kami juga mengadakan nobar film, galang donasi untuk korban penggusuran dan fenomena alam, dan kelas kreatif – kelas merajut dan kelas membuat buku catatan. 

*** 

Dua hari sebelum lebaran Iduladha, Mawar menelepon saya. Dia meminta saya menunda keberangkatan saya ke Bandung. Dia ingin bertemu dengan saya dahulu. Dia pulang akhir Agustus. Maka saya pun membeli tiket dengan jadwal awal September. 

Selain itu, dia juga menyampaikan pesan mamanya untuk meminta saya menginap di rumahnya dan lebaran bersama. Pada malam takbiran, saya pun ke rumahnya. Ada banyak hal yang kami obrolkan. Ada banyak basa-basi. Namun, tidak ada pembahasan mengenai saya dan Mawar. Saya juga sengaja tidak membahasnya. Saya menunggu Mawar kembali ke Indonesia dahulu. 

Setelah salat lebaran. Kami menyantap hidangan rutin setiap kali lebaran. Sebelum pamit pulang, saya menyampaikan ke Mama Mawar bahwa ada yang saya ingin bahas, tetapi saya menunggu Mawar tiba di sini dahulu. Mama Mawar menyampaikan sesuatu, tetapi terdengar samar-samar di telinga saya. Saya hanya tersenyum, kemudian pamit pulang. 

Sepanjang perjalanan, saya memikirkan apa yang tadi ingin disampaikan Mama Mawar. Saya tidak mendengarnya dengan jelas. Dahi saya berkerut. Kemudian, saya berusaha mengabaikannya. 

*** 

Pada tanggal 26 Agustus 2019, tepat di hari ulang tahun saya, Mawar kembali ke Indonesia. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini dia seolah tidak peduli dengan hari ulang tahun saya. Saya berusaha tidak mempermasalahkannya. Ada masalah yang lebih urgen untuk kami bahas. Namun, saya mulai merasakan perubahan sikapnya yang begitu drastis. 

Saya semakin merasa aneh ketika dia tidak merespons pesan WhatsApp saya. Telepon saya juga tidak diangkat. Kemudian, sahabat saya bilang kalau dia bikin status, saya mengeceknya – tidak muncul di WhatsApp saya. Ternyata dia menyembunyikan statusnya dari saya. Saya menanyakan itu padanya. Akhirnya dia membalasnya. Dia bilang tak tahu-menahu mengenai itu. 

Dia juga bilang handphone-nya baru dia pegang. Mamanya menyita handphone-nya. Saya menanyakan alasannya. Kata dia agar dirinya bisa fokus sama keluarga. Tidak main handphone dahulu. Saya makin merasakan ada sesuatu yang janggal. Saya pun menuju rumahnya. 

Setiba di rumahnya, Mawar sedang tidur. Saya bilang ke mamanya, bolehkah Mawar dibangunkan. Mamanya bilang Mawar kecapaian dari belanja di Indo Mode dengan si bungsu. Kemudian saya bilang lagi, bolehkah saya menunggunya sampai terbangun. Namun, mamanya tidak membolehkan karena dia ingin keluar dahulu. Dia meminta saya datang kali lain lagi. Saya menanggapinya dengan berkata bahwa saya akan berangkat lusa. Kemudian mamanya bilang akan mengabari saya sebelum berangkat. Saya mengangguk, lalu pamit pulang. 

Sepanjang perjalanan pulang, saya memikirkan banyak kejanggalan. Saya merasa Mawar berubah. Dahulu ketika dia ke Indo Mode dia akan singgah dulu ke basecamp menemui saya. Apalagi kali ini, setelah setahunan tidak bertemu. Dahulu juga ketika saya datang ke rumahnya, meskipun sedang tidur – dia akan bangun cuci muka ketika mendengar suara saya. Kali ini dia seolah-olah pura-pura tidak mendengar. 

Sesampai di basecamp saya menghubungi sahabat saya yang juga sahabat dia (istri sahabat saya). Anggap saja namanya Anti dan suaminya bernama Putra. Saya menceritakan kejadian tadi kepadanya. Saya pun diminta Anti dan Putra untuk datang ke rumahnya. Ada yang ingin mereka sampaikan secara langsung. Tidak boleh melalui WhatsApp

Besoknya, saya ke rumah Anti dan Putra di temani Bian, sahabat saya juga. Setiba di sana, Putra meminta saya untuk siap mendengar segala sesuatu yang akan dia paparkan. Kemudian, berjanji tidak menyalahkan mereka. Saya pun menyetujuinya. 

Putra menyampaikan bahwa Mawar akan segera menikah. Sejak bulan Juni jadwalnya sudah mereka atur dan Mawar telah lama memilih baju pengantinnya. Pernikahan Mawar juga tidak ada proses paksaan sama sekali. Dia menikah dengan selingkuhannya sendiri. Lelaki yang digosipi dengannya oleh teman-teman di Aussie. 

Perpisahan adalah keniscayaan
Anti pun memperkuat perkataan suaminya dengan menunjukan percakapan WhatsApp­­-nya dengan Mawar. Saya membaca sendiri Mawar telah jalan dengan laki-laki itu sejak bulan Februari. Waktu itu, kami masih sangat mesra-mesranya. Saya juga membaca percakapannya yang telah memilih baju pengantin. 

Saya membaca chat Anti yang meminta Mawar untuk jujur kepada saya. Mawar hanya bilang bahwa saya juga akan tahu sendiri nantinya. Dia mengaku belum mencintai calon suaminya dan masih mencintai saya. Namun, Mawar menganggap cintanya akan muncul setelah menikah dengan suaminya dan perlahan akan melupakan saya. 

Membaca percakapan itu, saya hanya bisa menertawai diri saya. Bisa-bisanya saya ditipu habis-habisan seperti ini. Bisa-bisanya saya dimanipulasi sedemikian rupa. Namun, satu hal yang benar-benar saya syukuri: perasaan saya sangat lega. Seolah beban di pundak saya hilang semua. Saya seperti menjadi burung yang terbebas dari sangkarnya. Kini bisa mengepakkan sayap dengan bebas – ke mana saja yang ingin saya tuju. 

Setelah mengetahui kenyataannya, saya semakin percaya bahwa Allah menyayangi saya. Dia mengabulkan doa-doa saya. Sebelumnya, sebelum kembali ke Makassar, setiap kali usai salat di Masjid Daarut Tauhid – saya selalu minta kepada Allah untuk ditenangkan batin saya jika nanti saya mendapati kenyataan sebenarnya – kenyataan bahwa saya dan Mawar memang tidak ditakdirkan bersama. Hari itu, Allah mengabulkan doa saya. 

Dada saya menjadi sangat lapang. Justru Bian yang tidak berhenti menggerutu dan mengutuk Mawar. Dia tidak menyangka Mawar bisa berubah sedrastis itu. Menjadi orang semunafik itu. Saya pun hanya bisa tertawa dan berkata: bukan jodoh, Brad! 

*** 

Agar orang-orang yang mengenal kami tidak lagi menyangkut-pautkan kami, saya pun merasa perlu menyebarluaskan kenyataan sebenarnya di Instagram. Saya menjelaskan kronologisnya secara singkat dan padat. Banyak teman dan adik-adik yang menyayangkan kenyataan tersebut dan menyampaikan rasa simpatinya kepada saya. Saya berkata kepada mereka bahwa saya baik-baik saja dan bersyukur semuanya menjadi jelas. 

Sebelum-sebelumnya saya merasa bersedih karena mengira kami korban dari keputusan orang tuanya. Makanya saya pulang ke Makassar untuk memperjuangkan dia. Saya merasa harus melakukan itu karena mengira dia benar-benar mencintai saya. Setelah saya tahu kebohongannya, perasaan cinta saya seketika berganti wajah. Saya pun bisa lebih fokus dengan pendidikan dan impian saya yang lain. 

*** 

Pagi hari sebelum saya berangkat ke Bandung, saya mengirimkan pesan WhatsApp kepada Mawar. Percakapan kami seperti di bawah ini:

Saya: "Assalamu Alaikum, Mawar.

Sedari awal kita pacaran, saya sudah bilang kalau ada laki-laki lain, tinggal jujur saja. Saya akan pergi dengan sendirinya. Saya tidak akan pernah memaksakan kehendak. Saya memang amat mencintaimu, tetapi bukan berarti kamu jadikan itu sebagai alasan untuk memperlakukan saya dengan semena-mena.

Seharusnya, sejak sebelum bulan dua yang lalu kamu sampaikan itu. Terus tidak perlu membohongi saya. Jadi saya tidak perlu repot-repot kembali ke kampung untuk membujuk orang tua dan meminta dukungan keluarga yang lain untuk dinikahkan tahun depan.

Andai dari awal kamu sampaikan. Saya sudah jauh-jauh hari menata impian saya kembali tanpa ada kamu lagi di dalamnya. Tetapi sudahlah. Mungkin itu caranya Tuhan memberikan saya karma atas kesalahan saya di masa lalu.

Oiya. Terima kasih untuk segalanya. Setidaknya saya banyak berubah karena kamu. Saya kembali percaya Tuhan dan Agama karena kamu. Terima kasih untuk itu. Semoga Mawar jadi keluarga bahagia dengan Fulan. Semoga segala hal-hal baik menyertai keluarga kalian. Wassalam.😊"

Mawar: "Wa'alaykumsalaam.
Tidak sy sampaikan karena belum ada kepastian.
Dan setelah mamaku cerita kemarin kalau sdh kasi tau Adi.

Chat yang kemarin juga kan sy bilang, kalau keluarganya datang ya sy terima.
Sy diminta menikah tahun ini.

Terima kasih juga, Adi.

Oiya, bukan tgl 5. Tp rencana tgl 9. Masih rencana krn sampai skrg belum ada kabar dari keluarganya kak Fulan.
Mohon doanya biar semuanya lancar. 
Semoga karir Adi lancar dan diberkahi Tuhan." 

Saya: "Saya pamit dari hidupmu yah. Insyaallah saya tidak dendam. Saya mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga pernikahanmu lancar dan senantiasa dikaruniahi kebahagiaan setelahnya.😊

Semoga Fulan tidak memperlakukanmu secara buruk. Semoga kalian selalu akur dan langgeng, hingga dunia-akhirat. Oiya, jangan lupa menjadi ibu yang keren bagi anak-anakmu nanti. Ajarilah mereka untuk jujur sejak dini. Dunia ini krisis kejujuran, semoga mereka yang mengubah keadaan demikian di masa depan.😊

Juga, jangan lupa hidup bersama dengan buku-buku.😉"

Mawar: "Aamiin.. Jaga diri elok-elok.."

Saya: "Mawar. Jangan terus seperti ini. Tetaplah jujur mesti itu pahit. Itu jauh lebih baik.

Saya sudah tahu semua dari Putra. Terus saya baca chat-chatmu sama Anti juga. Saya bahagia membaca kebahagiaanmu! Alhamdulillah.😊"
(Respons saya atas chat balasannya yang pertama) 

Mawar: "I know. Dan mmg belum ada lamaran. 😅 
Kak Fulan sj ke sini tgl 5. Bagaimana bisa akad tgl 5.. Hehe"

Saya: "Tanggal 9 akad dan 22 resepsi. Saya tahu, Mawar. Tolong berhenti perlakukan saya seolah tidak tahu apa-apa. Pergilah dengan cara baik-baik. Jangan seperti ini.😊"

Mawar: "Dibilang baru rencana. Kalau tgl 9, insyaa Allaah jd kalau tdk diubah ji lg. Tgl resepsinya juga baru mau disesuaikan. Akan sy share kalau semuanya fix. Ada lagi? Sebelum mamaku bangun dan ambil lg hpku."

Saya tidak merespons lagi chat-nya, kemudian memblokir kontaknya. Bukan karena saya sakit hati ditinggal nikah. Saya tidak mempermasalahkan Mawar ingin menikah dengan siapa saja yang dia mau. Itu hak dia dalam memilih pasangan. Namun, tidak seharusnya dia membuang-buang waktu saya dengan kebohongannya. Andai sedari awal dia lebih berani jujur, saya tidak perlu repot-repot pulang membujuk orang tua untuk segera dinikahkan. 

Membaca respons dia atas chat-chat saya dengan tanpa merasa bersalah sama sekali -- membuat saya menertawai diri sendiri. Bisa-bisanya saya pernah mencintai perempuan yang tidak berperasaan seperti dirinya. Namun, saya tidak menyesali pernah amat tulus mencintainya dan begitu memercayainya. Setidaknya, saya telah menjadi kekasih yang baik dan selalu setia untuknya. Setidaknya itu membuktikan bahwa saya telah menjadi pribadi berbeda dari sebelumnya – dan menganggap perlakuannya ini sebagai karma atas kesalahan-kesalahan saya di masa lalu. 

*** 

Setelah saya memaparkan itu semua, saya ingin mengajukan pertanyaan sederhana: adakah alasan bagi saya untuk meratapi kepergian perempuan seperti itu dari hidup saya? Perihal perasaan saya, seperti yang saya bilang di atas -- saya justru merasa amat lega. Apalagi Joker pernah berkata bahwa apa pun yang tidak membunuhmu, akan membuatmu kuat! Yoshaaa!!!

Hal yang (Mungkin) Luput dari Kesadaran Kita!

Beberapa hari ini, barangkali kita sama-sama jemu mendapati respons-respons warganet terkait kasus penganiayaan terhadap AY. Dua belas anak SMA diduga melakukan perundungan kepada AY dan tiga di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka – terbukti melakukan penganiayaan ringan. Ketiga pelaku memang patut mendapatkan sanksi agar menjadi pembelajaran bagi mereka dan anak-anak yang lain, bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi. 

Sebelum fakta terkuak dengan keluarnya hasil visum, warganet beramai-ramai menyebar dan menandatangani petisi agar AY mendapatkan keadilan. Warganet merasa ngeri sekaligus geram dengan pemberitaan yang viral tentang kepala AY dibenturkan di aspal, perutnya diinjak-injak, dan yang paling memicu kemarahan – vaginanya ditusuk agar selaput daranya pecah. 

Akibat dari viralnya pemberitaan tersebut, para terduga pelaku mendapatkan kutukan bertubi-tubi dari warganet. Foto mereka disebar dan dipermalukan habis-habisan. Mereka juga diancam akan diperlakukan lebih parah – layak diperkosa atau vaginanya ditusukkan pisau. Ancaman mengerikan itu menunjukkan kepada kita perihal betapa piciknya pemikiran kebanyakan warganet. 

Saya menyepakati bahwa setiap kejahatan harus mendapatkan sanksi yang setimpal. Namun, jika hukuman yang dimaksud justru dengan mengutuk pelaku dan menganggapnya sebagai satu-satunya sumber masalah – bagi saya, itu merupakan tindakan yang amat keliru. 

Melawan kejahatan, bukan berarti mesti melakukan kejahatan serupa. Jika melakukan hal sama, apa yang membedakan kita dengan mereka? Dengan berbuat demikian, kejahatanlah yang akan selalu menang. Kehidupan kita pun menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan setiap harinya. Gersang akan keberadaan nilai-nilai kebaikan. 

Tindakan demikian, seperti melawan pelaku body shaming dengan melakukan body shaming pula. Atau yang paling dekat dengan keseharian kita sekarang, terutama yang berkaitan dengan kontestasi politik: melawan berita bohong dengan menyebarkan berita bohong pula. Akhirnya, menciptakan karut-marut dalam kehidupan bermasyarakat yang tanpa ujung – spiral kekacauan. 

Sepertinya watak warganet memang demikian, gemar menghakimi dengan melakukan perundungan. Watak itu dengan jelas diperlihatkan lagi dengan keluarnya hasil visum AY. Warganet yang tadinya mendukung AY, tiba-tiba berbalik menyerang. Mereka menggelari AY sebagai putri drama. Ratna Sarumpaet junior. Juga penerus Setya Novanto. Kemudian, menggunakan status-status AY di facebook untuk melabelinya sebagai anak nakal. Video tiktok AY pun dijadikan alasan untuk memperkuat label tersebut. 

Maka dari itu, penting sekali menyelamatkan anak-anak dari watak yang demikian. Saya selalu percaya bahwa tidak ada anak-anak yang dilahirkan dengan mental sakit. Tidak ada anak-anak bermasalah, melainkan hanya kurang bahagia. Karena kurang bahagia, mereka pun melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya – sesuatu yang kita definisikan sebagai kenakalan. 

Alexander Sutherland Neil dalam bukunya Summerhill School juga mengatakan demikian – bahwa tidak ada anak-anak yang jahat. Yang ada adalah para orang tua bermasalah, guru-guru yang bermasalah, dan sekolah-sekolah yang bermasalah – yang semuanya melahirkan anak-anak bermasalah. Mereka melakukan hal-hal bermasalah sebagai pelampiasan mereka atas kekesalannya terhadap keadaan. 

Keadaan itu yang menurut Neil sebagai pemicu anak-anak digerogoti kebencian. Kemudian, kebencian tersebut melahirkan kebencian lain pula. Maka anak-anak yang dipenuhi kebencian seolah berperang dengan dirinya sendiri. Konsekuensinya, mereka merasa berperang dengan seluruh dunia. 

Menurut saya, hal itu yang luput dari kesadaran kita terkait kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak. Mereka adalah hasil dari kegagalan orang dewasa dalam mendidik. Mereka menjadi anak-anak yang tidak bahagia dan melampiaskannya – dengan melakukan kejahatan kepada orang lain. 

Anak-anak yang seperti itu, hampir selalu dikarenakan oleh perlakuan yang salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah. Maka dari itu, kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Para orang tua dan guru harus menginstrospeksi diri – mengevaluasi kesalahan atau kelemahannya dalam mengasuh dan/atau mendidik anak. 

Para orang dewasa juga harus menyadari bahwa setiap anak terlahir dengan membawa kecenderungan untuk menjadi baik atau jahat. Anak-anak menjadi salah satu dari keduanya ditentukan oleh keadaan lingkungan hidupnya: rumah, sekolah, dan masyarakat. Setiap anak adalah peniru ulung, mereka dengan mudah meniru apa pun yang dapat mereka jangkau. 

Setiap anak-anak bermasalah di muka bumi, dikonstruksi oleh hal-hal yang mereka lihat setiap hari. Caci maki, pertengkaran, pembunuhan, dan hal-hal bermasalah lainnya – dengan mudah mereka jumpai – baik di dunia maya, maupun di dunia nyata. 

Kondisi tersebut secara tidak langsung membangun kesadaran anak-anak bahwa semua itu adalah sesuatu yang biasa dan normal. Maka anak-anak pun tumbuh menjadi manusia yang gemar melakukan perundungan dan tidak merasa bersalah. Hal itu bisa kita lihat dari kelakuan para perundung AY ketika berada di kantor polisi – yang masih sempat melakukan boomerang di akun instagram-nya. 

Menjumpai kenyataan tersebut, sepatutnya para orang dewasa menyadari bahwa keberadaan anak-anak bermasalah merupakan bentuk kegagalan mereka memberikan contoh yang baik. Anak-anak hanya meniru apa yang orang dewasa pertontonkan di televisi, di media sosial, dan di kehidupan sehari-hari. Kesalahan-kesalahan para orang dewasalah yang membuat anak-anak tumbuh dengan mental pembenci dan perundung. 

Setelah menyadari kesalahan-kesalahan tersebut, para orang dewasa, terutama orang tua dan guru mesti segera membenahi pola asuh atau pola mendidik. Mereka mesti menjamin setiap anak terhindar dari segala sesuatu yang bisa membangun kebencian atau ketidakbahagian dalam dirinya. Seperti kita tahu, kebencian hanya melahirkan kebencian, maka yang perlu ditanamkan pada anak-anak adalah kasih sayang. Sehingga kasih sayang itu pun melahirkan kasih sayang yang lain dan menjamur dalam keseharian anak-anak. 

Untuk menumbuhkan kasih sayang dalam diri anak-anak, orang dewasa hanya perlu menjamin anak-anak bisa merasa bahagia. Caranya sederhana, cukup menjadi orang tua dan guru yang mampu menahan diri untuk tidak merampas kebahagiaan mereka – dengan tidak sok tahu perihal apa pun yang mereka butuhkan, tanpa meminta pendapatnya. Orang tua dan guru hanya perlu selalu perhatian, tanpa melulu mendikte mereka. 

Dengan melakukan itu, anak-anak akan tumbuh dengan pribadi yang sangat bahagia – yang kemudian mengalahkan segala bentuk kebencian. Sebab, tidak ada orang bahagia yang melakukan kejahatan kepada orang lain. Seperti kata Neil, semua kejahatan, semua kebencian, dan semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan.

*Dimuat di Geotimes pada tanggal 20 April 2019

Mengapa Bencana Alam Cenderung Dikaitkan dengan Azab?

Sebuah negeri bernama Indonesia kerap berduka. Selain kondisi sosial yang karut-marut, kondisi alamnya juga demikian. Beberapa bulan terakhir, bencana alam terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, tsunami di Banten, dan Banjir di Sulawesi Selatan dan di Papua. Bencana alam tersebut memakan korban dan kerugian materi yang tidak sedikit. Tangisan pun menyertainya. 

Kondisi itu diperburuk dengan adanya orang-orang yang menghakimi korban bencana alam. Alih-alih memberikan bantuan, mereka justru sibuk menyebar ujaran yang tidak mengenakkan telinga korban. Bencana alam tersebut mereka nilai sebagai azab – teguran atas segala maksiat yang pernah dilakukan. Mereka memosisikan korban sebagai pendosa dan seolah layak mendapat hukuman. 

Agama seharusnya menjadikan manusia lebih berbelas kasih. Berbela sungkawa terhadap korban tanpa perlu menyakiti perasaannya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Barangkali amat sukar memberi dukungan, tanpa perlu memosisikan diri sebagai pendikte. Padahal memberikan bantuan sekecil apa pun atau sekadar mendoakan korban – lebih dari cukup untuk meringankan beban dan menenangkan batin mereka. 

Mendapati orang-orang yang demikian, sungguh membuat kesal. Telinga kita dipaksa akrab dengan pernyataan-pernyataan hasil produksi kedangkalan berpikir. Kita jarang menjumpai pernyataan bahwa bencana alam sebagai bentuk fenomena alam dan akibat ulah manusia, bukan karena dosa-dosa. 

Mereka tidak menganggap gempa sebagai sentakan yang muncul karena pergeseran lempeng-lempeng tektonik bumi. Apabila terjadi di bawah laut akan menimbulkan tsunami. Begitu pun dengan banjir yang tidak dianggap sebagai akibat ulah manusia yang gemar membuang sampah sembarangan, pembangunan dan tata kelola kota yang tidak ramah lingkungan, tambang yang mengakibatkan pendangkalan sungai, dan sebagainya. 

Terkait itu, Richard Dawkins dalam bukunya yang berjudul The Magic of Reality mengatakan bahwa orang-orang terkadang keliru menafsirkan pernyataan “segala sesuatu terjadi karena alasan tertentu.” Orang-orang cenderung menganggap “alasan” dalam pernyataan tersebut bukan sebagai “penyebab di masa lalu”. Bahwa bencana alam adalah akibat pergerakan lempeng bumi dan perusakan oleh manusia. Namun orang-orang cenderung menafsirkan “alasan” pada pernyataan tersebut sebagai “tujuan” – seperti dengan mengatakan tsunami adalah hukuman atas dosa-dosa – untuk menghancurkan klub tari telanjang, disko, bar, dan tempat-tempat lain yang dilabeli penuh maksiat. 

Menurut Richard Dawkins, orang-orang berbicara hampa seperti itu karena telah dibiasakan sejak kecil. Anak-anak dibiasakan dengan mitos dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Misalnya, anak-anak tidak diberikan penjelasan ilmiah mengenai mengapa batu-batu bisa menjadi runcing. Justru alasan yang seringkali diberikan: agar hewan bisa menggaruk badan sewaktu kegatalan. 

Kesesatan berpikir seperti itu, tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat. Dampaknya semakin parah ketika agama berusaha dipisahkan dengan aktivitas berpikir. Padahal pendiskreditan keberadaan akal yang demikian – hanya terjadi pada abad pertengahan di Eropa dan telah lama ditinggalkan. Bahkan ketika orang-orang Eropa terjebak pada zaman kegelapan tersebut, Islam justru berada pada zaman keemasan. Banyak ilmuwan muslim yang melahirkan berbagai penemuan yang menginspirasi teknologi modern. 

Kemajuan berpikir ilmuwan muslim tersebut karena melaksanakan anjuran Tuhan yang berulang kali ditegaskan dalam Quran mengenai keutamaan orang-orang yang berilmu – orang-orang yang berpikir. Namun, berbeda dengan muslim saat ini, kebanyakan cenderung meninggalkan aktivitas berpikir tersebut. Barangkali menjadi latah pada berbagai kedunguan, tampak lebih menggiurkan bagi mereka. Alhasil, kepandiran pun diwariskan dengan bangga kepada anak-anak dan dianggap sebagai suatu kewajaran. 

Masih terekam jelas dalam ingatan saya tentang seorang teman yang percaya dilahirkan melalui jempol kaki, bukan melalui vagina. Dia mengetahui itu dari orang tuanya. Kepercayaannya baru berubah, ketika dia dengan polos menanyakan hal tersebut kepada guru biologi saat SMP. Mendengar pertanyaannya, kami pun sontak tertawa dan dia tampak bingung. Semestinya, orang tua tidak memberikan jawaban bohong seperti itu karena setiap anak akan selalu memercayai perkataan mereka. Maka dari itu, sangat penting mengajarkan anak-anak untuk berpikiran ilmiah sejak dini agar tertanam dalam dirinya hingga ia dewasa. 

Akan tetapi, susah sekali menjumpai orang tua seperti Ben Cash dalam film Captain Fantastic yang mengajarkan anak-anaknya untuk senantiasa berpikir ilmiah. Menjadi orang tua yang selalu memberikan jawaban jujur terhadap setiap pertanyaan yang diajukan anak-anaknya. Dia mengharamkan jawaban yang memuat kebohongan, setabu apa pun pertanyaan itu bagi masyarakat umum. 

Hal itu terlihat pada adegan di dalam mobil ketika anak bungsunya yang berusia lima tahunan bertanya mengenai apa itu pemerkosaan, apa itu hubungan seks, dan mengapa orang melakukannya. Juga dalam adegan ketika makan malam dengan keluarga istrinya, sewaktu keponakannya bertanya mengenai penyebab kematian istrinya, dia pun memberikan jawaban jujur bahwa istrinya mengidap gangguan jiwa dan melakukan bunuh diri – yang kemudian diprotes oleh orang tua keponakannya itu. 

Film tersebut mencerminkan kehidupan sosial kita mengenai masyarakat yang cenderung melanggengkan kebohongan – dengan alasan melindungi anak-anak dari konsep tertentu sebelum waktunya. Padahal itu memicu tumbuh suburnya kedunguan. Kenyataan tersebut tidak mengherankan karena kita sedang hidup di dunia yang mengagungkan kedunguan. Makanya banyak orang yang berlomba-lomba mencapai puncak kedunguan – kebebalan. Aku berpikir, maka aku ada – tidak memiliki kekuatan dalam masyarakat yang menghamba pada kebebalan. Perkataan Rene Descartes tersebut pun bergeser menjadi “Aku bebal, maka aku ada!” 

Akibatnya, kebebalan tersebut menjadi sesuatu yang tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi juga mengerikan. Sebab orang-orang yang malas berpikir ini justru sangat aktif melakukan sesuatu, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Mereka menjadi golongan yang merasa paling benar dan paling suci disertai fatwa-fatwa yang berangkat dari kepicikan berpikir. Mereka menjadi golongan yang sangat tidak ramah pada perbedaan. Kerap menuntut setiap orang tunduk pada kebenaran yang mereka yakini. Konsekuensi logis dari kemalasan berpikir adalah tingginya kepuasaan pada pemikiran sendiri dan menutup diri dari pemikiran orang lain. 

Saking puasnya, mereka bangga memamerkan kebebalan setiap kali terjadi bencana alam dan seolah telah bertindak bijaksana dengan berkata "Bencana alam adalah azab, bertobatlah!"

*Dimuat di Epigram pada tanggal 3 April 2019

Senin, 25 Februari 2019

Jatuh Cinta Biasa Saja

“Ketika rindu menggebu-gebu, kita menunggu. Jatuh cinta itu biasa saja. Saat cemburu kan membelenggu, cepat berlalu. Jatuh cinta itu biasa saja.” 


Dendangan lagu dari Efek Rumah Kaca menemaniku bersantai di rumah. Kali ini, aku menikmati menjadi manusia kamar dan bergumul dengan buku-buku. Aku hanyut dalam lagu dan bacaan. Aku amat menikmatinya. Aku memang lebih senang membaca buku sambil mendengarkan musik. Musik memiliki cara tersendiri membuatku berlama-lama hanyut dalam bacaan. 

Aku menyukai lagu-lagu dari Efek Rumah Kaca karena berbeda dari kebanyakan band. Lirik lagunya keren, menyampaikan pesan kritis terhadap fenomena sosial—menyampaikan suara-suara dari kaum yang terpinggirkan dan kritikan terhadap hegemoni penguasa. 

“Segitu sukanya kau dengan lagu Efek Rumah Kaca, sedari tadi telinga kita hanya dimanja oleh nyanyian mereka,” tegur temanku yang beberapa hari ini juga lebih betah menjadi manusia kamar bersamaku. 

Aku meresponsnya dengan tertawa. 

“Apa yang membuatmu begitu jatuh hati pada tiap lirik lagu ini?” 

“Hmm, setiap liriknya punya pesan atau kritik sosial. Selain itu, lagu-lagu cintanya lebih filosofis.” 

“Filosofis bagaimana maksudmu?” 

“Ia tak menyiratkan kehidupan percintaan yang dramatis dan menjemukan. Kebanyakan band lainnya, melulu menyanyikan lagu yang mendayu-dayu. Menurutku, itu amat menggelikan.” 

Temanku balik tertawa. Barangkali ia sepakat dengan perkataanku atau justru menganggapku aneh. Aku tak tahu. 

Beberapa saat kemudian, aku menutup buku dan menyelipkan pembatas pada halaman terakhir yang kubaca. Lalu aku berdiri di dekat jendela dan melihat ke luar dengan mata menerawang. Aku suka melamun. Selain baca buku dan mendengarkan musik, hal yang juga menyita waktuku adalah melamun. 

Melamun merupakan caraku untuk berbicara pada diri sendiri—merefleksi keseharian, ingatan, dan kenangan pada sesuatu yang penting maupun tak penting. Dalam kondisi itu, aku bisa berpikir bebas dan lepas dari berbagai beban hidup yang menjerat. Tak jarang, aku mendapat pemikiran unik yang langka sebagai buah lamunan. Ide yang terkadang gila, namun disenangi oleh teman-temanku. Aku tak tahu, mereka benar-benar senang atau sekadar ingin menyenangkanku. Entahlah. 


“Jatuh Cinta Biasa Saja” kembali mengalun dan mengarahkan lamunanku pada drama-drama dari pelakon cinta di sekitar ruang hidupku. Aku sering melihat orang-orang yang dimabuk cinta, begitu absurd dalam pikir dan tindaknya. Mengabai hal penting dan terjebak pada hal konyol—teleponan berjam-jam sehingga lupa makan seharian. Karena baginya, ia sudah kenyang ketika mendengar suara kekasihnya. Hal seperti itu, membuat perutku serasa dikocok dan ingin muntah tepat pada mulut si pelontar kata-kata tersebut. Hueekk! 

Ada juga yang lebih geli – pasangan kekasih yang bertengkar saat di perjalanan. Tiba-tiba saja, perempuannya minta diturunkan dari kendaraan, lalu laki-lakinya membujuk. Sepanjang perjalanan seperti itu, lelaki memelankan laju kendaraannya, sambil membujuk perempuan agar berhenti marah. Si perempuan enggan naik ke kendaraan, ketika lelakinya tak bekerja keras dalam membujuknya. Selain itu, drama yang tidak kalah menggelikan, ketika pasangan pejalan kaki yang bertengkar. Dramanya seperti film-film india—tarik-tarikan dan kejar-kejaran sepanjang jalan, tanpa mengacuhkan orang lain di sekelilingnya. 

Selain membuat geli seperti di atas, ada juga kisah cinta yang memiriskan; percintaan yang menghadirkan dominasi pada relasi yang mereka jalani. Relasi percintaan yang tak sehat karena ada pihak yang berlaku sebagai peguasa dan dikuasai. Yang mendominasi menyiksa lahir dan batin kekasihnya dengan mengatasnamakan cinta, pun sebaliknya—yang dikuasai rela tersiksa lahir dan batin demi orang yang dikasihinya. Bahkan tindak kekerasan dan berbagai hal absurd lainnya, tak lagi dihiraukan. Atas nama cinta, semua itu diwajarkan—konsekuensi dari dicinta dan mencinta katanya. 

Aku sungguh tak paham dengan tindakan orang-orang yang rela berbuat apa saja demi orang yang ia cintai—bahkan tak peduli menyakiti dirinya sendiri. Karena yang kupahami bahwa cinta itu saling menghidupi, saling menghadirkan kebermaknaan pada pasangan. Cinta tak akan pernah tega menyakiti, karena ketika melukai cintanya berarti menohok hatinya sendiri. Layaknya kasih Ibu pada anaknya atau kasih Sang Maha pada mahkluk-Nya—kehadiran cinta menyejukkan jiwa dari kegersangan. 

Karena sudah semestinya cinta memberikan kehidupan, bukan kematian. Menghampiri dengan keteduhan bukan kegelisahan. Layaknya musik yang mengalun indah, cinta pun demikian—menghempaskan kesedihan dan menggantinya dengan kebahagiaan tak bertepi. Kehadiran cinta tak berbatas ruang dan waktu, maka tak akan ada yang luput dari jangkauannya—menuntun jiwa agar tak tersesat dalam labirin suram kehidupan. 

Maujud Tuhan paling nyata ada pada cinta. Cinta yang tak dilebih-lebihkan, sebab jatuh cinta itu biasa saja. Tak semestinya dipelintir dalam berbagai drama-drama yang kosong makna. Cinta bukan seperti yang direkayasa pada sinetron-sinetron di televisi—cinta bukan tontonan. Cinta bukan ini dan itu. Ia adalah sesuatu yang tak terdefinisi, berusaha mendefinisikannya akan mengantarkan pada kekeliruan pikir. 

Cinta adalah cinta. Keberadaanya ada di mana-mana dan bisa menghampiri kapan saja. Ketika ada yang tak percaya, aku tak peduli. Biarkan saja seperti itu, aku akan mengabai sembari memutar keras musik pada daftar playlist. Agar menggema dan tanpa sadar cinta mengalir lewat alunan lagu yang terdendangkan: Jatuh Cinta Itu Biasa Saja. 

*** 

*Dimuat di Qureta pada tanggal 20 Februari 2019
https://www.qureta.com/post/jatuh-cinta-biasa-saja


Translate

Flag Counter

Total Tayangan Halaman